Di Tengah Hempasan Berbagai “Kekurangan”, Warisan Leluhur Donggo Ini Masih Bertahan-Ada Pesanan Dari LN

Aisyah: Ini Adalah Kekayaan Yang Wajib Dibantu dan Harus Dipromosikan

Leni (Kanan Dalam Balutan Tembe Salungka Donggo) dan Aisyah (Kiri Dalam Balutan Tembe' Me'e Donggo)

Visioner Berita Kabupaten Bima-Donggo adalah salah satu Kecamatan yang berlokasi di ujung barat-Kabupaten Bima. Donggo bukan saja dikenal dengan masyarakatnya yang tegas, berani, jujur, tolerantif, tegas dan menghargai keragaman nilai, termasuk soal budaya. Tetapi juga memiliki salah satu kekayaan warisan leluhurnya. Sebut saja “Tembe Me’e Donggo” (sarung hitam Donggo berbahan kapas asli dan bahan-bahan alami lainya).

“Tembe Me’e Donggo” bukan dibuat menggunakan alat modern seperti mesin jahit dan lainya, tetapi lahior dari karya tradisional oleh warga Donggo (ditenun). Catatan penting Media Online www.visionerbima.com melaporkan, “Tembe Me’e Donggo” diakui sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki oleh Kabupaten Bima dan acap kali igunakan di berbagai event penting di Bima. Antara lain di moment HUT Kabupaten Bima dan HUT Kota Bima.

Bupati Bima, Hj. Indah Dhamaanti Putri, SE, M. IP merupakan salah satunya yang membuat Donggo kian dikenal khalayak. Lebih jelasnya, orang nomor satu di Bima yang akrab disapa Dinda ini pernah mendominasikan “Tembe Me’e Donggo” pada moment HUT Kabupaten Bima dua tahun silam. Lagi soal kekayaan warisan leluhurnya Donggo ini, Dinda juga hadir dengan penampilan berbeda nan indah dalam balutan busana Donggo di moment HUT Kota Bima sekitar dua Minggu lalu (4/2024).

Masih soal “Tembe Me’e Donggo”, Media ini juga memiliki catatan pentingnya lainya. Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan zaman, sejak belasan tahun silam hingga sekarang kekayaan Bima yang satu ini diakui nyaris “tak mampu” berkompetisi dengan beragam performa modern yang terbuat dari bahan-bahan morn pula.

“Masalah” tersebut diakui lantaran banyak alasan alasan faktual. Antara lain penenun tradisional di Donggo yang nyaris tak ditemukan, kapas sebagai bahan dasar pembuatanya tak lagi terlihat sejak puluhan tahun silam, pun demikian halnya dengan lilin madu (aroma khas “Tembe Me’e Donggo”) dan lainya.

Tak hanya itu, kekayaan warisan leluhur Donggo ini dinilai nyaris tersisih karena sejak puluhan tahun silam hingga saat ini tak ditemukan adanya upaya pemberdayaan, pengembangan oleh Camat dan Donggo dan Camat Soromandi-Kabupaten Bima serta seluruh Kepala Desa yang ada di dua Kecamatan itu. Antara lain, harapan besar agar Alokasi Dana Desa (ADD) untuk pemberdayaan dan pengembangan potenis kekayaan warisan leluhur tersebut, hingga kini tak pernah dilakukan.

Padahal luas lahan di Donggo dan Soromandi yang sejatinya dimanfaatkan untuk tanaman kapas, diakui hingga kini terpampang nyata di depan mata. Tak hanya itu, partisipasi berbagai Organisasi termasuk Pemuda agar “Tembe Me’e Donggo” bisa berkompetisi dengan dunia global, sejak dulu hingga kini juga tak pernah terlihat.

Namun demikian, potensi kekayaan warisan leluhur Donggo ini diakui masih bisa bertahan sampai dengan saat ini. Hal ini diakui lebih dikarenakan oleh masih adanya sejumlah UMKM di Donggo dan Soromandi yang sejak awal hingga kini diakui masih sangatn menjiwai potensi kekayaan warisan leluhur tersebut. Dan UMKM tersebut, dijelaskan dikendalikan secara langsung oleh sebuah lembaga-sebut saja “Lentera Donggo

Masih soal “Tembe Me’e Donggo”, di moment Rompu Mantika Haritage Bima tahun 2024 ini, Media ini kembali menemukan adanya anak muda asal Desa Punti Kecamatan Soromandi-Kabupaten Bima di lapangan Sera Suba-Kota Bima, Leni Lestari dari salah satu UMKM dibawah kendali “Lentera Donggo”, Kami (24/4/2024). Pada moment tersebut, Leni berada di salah satu stand yang disediakan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bima.

Stand tersebut berisikan “Tembe Me’e Donggo”, baju kababu dan selendang yang terbuat dari bahan “Tembe Me’e Donggo”, sarung salungka Donggo yang terbuat dari benang moder yang ditenun oleh sejumlah UMKM dibawah kendali “Lentera Donggo”. Di moment yang sama, juga terlihat seorang mahasiswi semestera II STKIP Taman Sisisa (Tamsis) Kampus II-Kota Bima, Nur Aisyah dan seorang sahabat sekampusnya.

 Di moment itu, Leni hadir untuk tujuan menjual sekaligus mempromosikan sejumlah potensi kekayaan warisan leluhur Donggo tersebut. Sementara Aisyah mengaku sengaja hadir di standa itu untuk melihat secara langsung beragaman barang-barang seperti sarung, baju, selendang, sambolo yang dibuat dari kain tenunan tradisional Bima. Antara lain dari Donggo, Desa Sape, Desa Renda dan di sejumlah Kelurahan di Kota Bima.

Leni menjelaskan, kendati kini dihadapakna dengan keragaman “kekurangan, namun “Tembe Me’e Donggo” tersebut hingga sekarang masih bisa bertahan. Namun demikian, diakuinya tak banyak UMKM baik di Donggo maupun di Soromandi yang menjual maupun mempromosikanya. Bukan itu saja, sentuhan berupa bantuan baik dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, Desa dan Camat terkait potensi warisan leluhur Donggo tersebut diakuinya hingga kini belum pernah ada.

“Sejak awal hingga sekarang belum pernah ada bantuan yang diberikan oleh pihak-pihak tersebut kepada kami. Sementara modal awal untuk memproduksi, menjaga dan mempertahankan potensi ini murni dari uang kami (UMKM) dan ada juga bantuan dari sejumlah donatur yang enggan namanya disebutkan,” ungkap Leni.

Dalam rangka menjual sekaligus mempromosikan potensi kekayaan warisan leluhur Donggo tersebut, Leni mengaku sering kali ikut di berbagai event penting di Bima. Antara lain di moment HUT Bima dan lainya. Masih soal soal potensi kekayaan warisan leluhur Donggo tersebut, diakuinya ada barang yang harganya relatif mahal dan ada pula yang relatif murah.

“Kendarti demikian, barang-barang yang kami jual ini juga laris. Keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan, Alhamdulillah ada dan dominan digunakan untuk memproduksinya,” terang Leni.

Peminat potensi kekayaan warisan leluhur Donggo ini, diakuinya bukan saja di Bima. Tetapi juga ada yang dari Luar Negeri (LN) dan di berbagai daerah di Indonesia.

“Hingga saat ini pesanan juga datang dari sejumlah daerah di Indonesia. Tak hanya itu, ada juga dari Luar Negeri (LN) yang kini memesan “Tembe Me’e Donggo”. Antara lain Malaysia dan Singapore,” tandas Leni.

Keinginan pihaknya untuk terus maju dan berkembang, diakuinya sangatlah besar. Namun demikian, hingga kini pihaknya masih dihadapkan dengan kekurangan, salah satunya permodalan serta alat-alat produksi.

“Soal alat produksi, Alhamdulillah kami mendapat bantuan dari sebuah Lembaga yakni Peji Rimpu Fokka” Kain Tenunan Bima. Bantuan tersebut yakni berupa mesin jahit. Untuk itu, kami sampaikan apresiasi dan terimakasih kepada Lembaga tersebut,” ucap Leni.

Di tengah kerasnya kompetisi, Leni memastikan bahwa hingga kini “Tembe Me’e Donggo” masih tetap bertahan di pasaran. Hal itu, diakuinya salah satunya disebabkan bahwa barang tersebut memiliki kekhasan dan nama besar sejak ratusan tahun silam serta masih berlangsung sampai dengan detik ini juga.

“Kini ingin terus maju, berkembang dan terlestari dengan sangat baik. Untuk itu, yang dibutuhkan bukan saja sentuhan bantuan dari Pemerintah. Tetapi juga tumbuh dan berkembangnya UMKM baik di Kecamatan Donggo maupun di Kecamatan Soromandi,” harap Leni.

Di lokasi yang sama Mahasiswi Semester II pada STKIP Tamsis Kampus II-Kota Bima, Nur Aisyah mengaku kagum dengan potensi kekayaan warisan leluhur Donggo tersebut. Selain kagum, Aisyah juga terlihat mencoba memakainya.

“Ini salah satu kekayaan Bima yang wajib untuk dijaga, dipertahankan dan dilestarikan sampai kapanpun. Aisyah menegaskan, UMKM di Donggo dan di Soromandi akan bisa maju dan berkembang ketika ada sentuhan nyata dari Pemerintah.

“Potensi kekayaan warisan leluhur Donggo ini wajib dibantu dan intensitas promosinya adalah keharusan. Lebih jelasnya, Pemerintah harus hadir dengan sentuhan bantuanya, baik berupa dana maupun alat-alat produksi. Sementara soal promosinya, kita tidak bisa hanya mengandalkan Pemerintah. Tetapi juga butuh partisipasi aktif dari berbagai element masyarakat di Etni Donggo itu sendiri dengan memanfaatkan dunia digital saat ini,” imbuh Aisyah.

Pada moment yang sama, Aisyah juga terlihat mencoba memakai sarung tentunan asal Sape (Tembe Nggoli) dan Desa Renda (Salungka)-Kabupaten Bima. Ia mengaku sangat takjub dengan karya tangan warga Sape dan Renda tersebut. Selain itu, kain tentunan dari dua Desa tersebut diakuinya bukan saja terlihat sangat apik, tetapi juga sangat nyaman dan nampak indah untuk digunakan. Barang-barang yang digunakan oleh Aisyah di moment tersebut, juga berasal dari  salah satu UMKM di Kota Bima (Punce Lelamase) milik Niningsih.     

“Harapanya sama, Pemerintah wajib hadir dari sisi permodalan dan bantuan alat produksinya. Berbagai elemen masyarakat di Sape, Renda dan di Kota Bima juga diwajibkan untuk ikut berpartisipasi terkait promosinya dengan memanfaatkan dunia digital saat ini. Dan dengan hal itu pula, tentu saja para UMKM akan maju, berkembang serta sejahtera dari sisi ekonominya,” harap Aisyah. (FAHRIZ/JOEL/ISRAT/RUDY/AL) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.