15 Pendemo Donggo-Soromandi Dipenjara, Akademisi UM Bima Minta Polisi Utamakan Restorative Justice

Syamsuddin, SH, MH.

Visioner Berita Kota Bima-Setelah diamankan akhir pekan lalu, sebanyak 15 massa aksi yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) Donggo-Soromandi yang melakukan aksi tuntutan perbaikan jalan raya di Kecamatan Soromandi dan Donggo, Kabupaten Bima, kini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Dari informasi yang dihimpun, usai ditetapkan jadi tersangka, 15 demonstran yang didominasi mahasiswa ini langsung dimasukkan sel tahanan Polres Bima untuk dilimpahkan ke Rumah Tahanan (Rutan) Raba Bima dalam beberapa hari ke depan.

Penetapan tersangka dan penahanan sejumlah warga yang melakukan aksi demonstrasi ini memunculkan ragam tanggapan publik.

Syamsuddin SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bima (UM Bima), meminta agar kepolisian lebih mengutamakan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan masalah ini. Menurutnya, pendekatan hukum formal negara dalam menyelesaikan kasus serupa cenderung menimbulkan gejolak sosial di kalangan masyarakat.

Syamsuddin menilai penggunaan restorative justice lebih tepat, mengandung kebaikan, dan kebermanfaatan karena hakikat restorative justice berorientasi pada pemulihan keadaan, bukan pembalasan semata.

“Jika dilihat dari motif dan tujuannya, tidak ada yang jahat dalam tindakan mereka. Justru diapresiasi sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat dan lingkungannya meskipun barangkali cara yang mereka tempuh dapat dipersalahkan dari segi hukum,” terang Syamsuddin, Sabtu (3/6/2023).

Polisi diharapkan dapat bersikap dan bertindak lebih bijaksana dalam mengatasi tuntutan massa aksi guna menghindari gejolak kelompok masyarakat atau guna menghindari benturan dengan kelompok masyarakat setempat.

Di lapangan kadang aparat kepolisian tanpa disengaja kerapkali dijadikan alat atas nama hukum dihadap-hadapkan dengan kelompok masyarakat massa aksi. Tentu hal semacam ini tidak diinginkan. Karena itu, kepolisian hendaknya menjadikan hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing) dan harmonisasi antara kepentingan negara dengan masyarakat, bukan alat penertib (ordering) semata dengan mengadalkan tindakan represivitas.

“Harus digunakan pendekatan dialogis dengan mempertemukan kepala daerah dengan masyarakat peserta aksi guna mencari win-win solution. Demikian juga kepala daerah harus cepat tanggap dan responsif terhadap aspirasi masyarakat, bukan justru menghindarinya,” terang Syamsuddin.

Lebih lanjut, Syamsuddin menjelaskan masalah tuntutan perbaikan jalan sudah sering disuarakan masyarakat Bima. Bahkan aksi demonstrasi serupa kerapkali dilakukan di berbagai kecamatan di Bima.

Menurutnya, aksi-aksi ini menjadi alarm bagi Pemerintah Daerah Provinsi NTB dan Pemerintah Kabupaten Bima. Sebab, terdapat ketentuan pidana bagi penyelenggara jalan yang abai terhadap kerusakan jalan sesuai wewenangnya sebagaimana diatur dalam pasal 273 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 22 tahun 2009 menyebutkan setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas, sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dipidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda maksimal Rp 12 juta.

“Jika mengakibatkan luka berat, pelaku dipidana kurungan maksimal 1 tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta. Dan jika hal itu mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 120 juta,” pungkasnya. (Fahriz)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.