Kendati Terbunuh Tapi Belum Kapok, Benarkah Narkoba dan Sindikat Dibalik Curanmor?

Visioner Berita Bima-Kasus pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) dalam beberapa tahun terakhir ini, marak terjadi di Bima, baik Kota maupun Kabupaten. Pelaku yang berhasil ditangkap oleh pihak Buser Reskrim maupun Reserse Mobil (Resmob) Sat Brimob Pelopor Den A Bima, bukanlah sedikit. Namun, aksi Curanmor masih belum mampu dieliminasi.
            Masyarakat yang marah terhadap kejadian tersebut, semakin memperlihatkan kebringasannya. Hukum rimba alias main hakim sendiri pun tak mampu dicegah. Sejumlah pelaku Curanmor yang tewas ditangan massa di beberapa wilayah di Bima, adalah bukti dari klimaks emosi massa.
            Sehari sebelum terjadinya banjir bandang di penhujung Desember 2016, seorang terduga pelaku Curanmor tewas ditangan massa di Kelurahan Rabadompu-Kota Bima.  Dalam bulan Maret 2017, terdapat dua terduga pelaku yang tewas ditangan massa. Yakni, di Kecamatan Sape dan di Desa Padolo Kecamatan Woha-Kabupaten Bima. Dan, tak sedikit yang lolos dari cengkeraman massa, karena kesigapan aparat dalam menyelamatkannya.
            Salah seorang Pemrihati masalah sosial Drs. Amirudin, memiliki padangan yang agak terbeda terkait fenomena ini. “Korban terbunuh secara massal maupun pelaku yang berhgasil dibekuk adalah rata-rata anak-anak dibawah umur. Vonis Pengadilan atas kasus Curanmor yang mnelibatkan anak-anak dibawah umur tersebut, sangatlah renda. Ada yang divonis 5-6 bulan penjara. Pertimbangan Hakim, lebih kepada regulasi tentang UU Perlindungan Anak. Setelah bebas, ya mereka melakukan hal yang sama. Ada catatan tentang itu kok di Kepolisian,” duganya, Minggu (5/3/2016).  
            Masyarakat kian ganas ketiga berhadapan dengan pelaku Curanmor, bnukan lagi menjadi rahasia umum. Tetapi, sangat nampak di depan mata. “Bisa jadi emosi massa itu, dilatari oleh rasa muaknya terhadap aksi Curanmor yang kian marak terjadi. Kita semua setuju bahwa membunuh itu adalah tidak boleh, baik dalam prespektif agama maupun hukum yang berlaku di negeri ini. Tetapi, kita juga tidak berdaya ketika massa menghakimi pelaku hingga tewas dengan kondisi yang sangat memprihatinkan,” tandasnya.
            Atas trendisasi ganasnya massa dengan cara rimba tersebut, Amir mengajukan dua opsi bagi pelaku Curanmor. Yakni, bertobat dan kemudian mencari nafkah diatas jalan yang halal, atau teruslah berbuat yang pada akhirnya akan mati sia-sia di tangan massa.
            “Saya tidak setuju tentang stigma bahwa kasus itu terjadi karena alasan ekonomi. Buktinya, terduga pelaku maupun pelakunya yang sudah tewas ditangan massa dan divonis Pengadilan, itu adalah orang-orang yang hidupnya berkecukupan. Banyak pelaku yang melibatkan anak-anak  dibawah yang terlibat dalam kasus Curanmor, mungkin saja karena pengaruh hal lain,” duganya.
            Sebut saja soal pengaruh obat keras seperti tramadol yang sampai kini masih belum mampu dicegah oleh aparat. “Ini sekedar dugaan saja, setelah menikmati tramadol kemudian mereka ketagihan-tak punya uang untuk membeli obat itu kemudian mereka terlibat dalam tindak pidana kejahatan yang salah satunya adalah Curanmor. Dan kita juga patut bertanya, adakah sindikat dibalik maraknya aksi Curanmor ini. Jika memang ada, kenapa wilayah itu belum juga disentuh,” tanyanya.
            Mengelininasi tindak kejahatan tersebut, bukan saja menjadi kewenangan aparat Kepolisian. Polisi hanya memiliki kewenangan menangani akibatnya hingga melanjutkan proses hukum sampai kepada Vonis Pengadilan. “Orang tua, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Elemen dan Tokoh Pemuda, dunia pendidikan dan lainnya pun memiliki kewajiban serta ketegasan untuk melakukan pencegahan. Semakin kita tutup mata terkait kasus ini, maka akan semakin banyak anak bangsa yang mati sia-sia ditangan massa,” imbuhnya.
            Sabtu lalu (4/3/2017), Visioner pernah berdiskusi singkat tentang masalah ini dengan salah seorang Intelijen. Dari hasil investigasi pihaknya menyebutkan adanya masalah lain yang memotivasi anak-anak dibawah umur untuk terlibat dalam kasus Curanmor.
            “Di salah satu wilayah pernah kami masuki. Ada oknum yang menawarkan tramadol kepada anak-anak dibawah umur. Karena ketagihan mengkonsumsi tramadol, akhirnya mereka mencoba memasuki jalur lain. Yakni, Narkoba jenis Sabu. Harga Narkoba itu jelas mahal, Mas. Paling tidak untuk paket hemat saja, dibeli Rp150-Rp200 ribu. Uang yang digunakan untuk beli Narkoba, jelas bukan dari orang tuanya. Tetapi, darihasil pencurian termasuk Curanmor. Namun untuk memastikan itu pemicunya, pihak penting perlu melakukan study secara mendalam,” ungkapnya.
            Rata-rata pelaku Curanmor, diakuinya melibatkan anak-anak dibawah umur. Mereka adalah orang yang hidupnya sangat berkecukupan, jika dipandang dalam kacamata ekonomi. Data identitas dan anak siapa dan bagaimana kondisi kehidupannya terkait pelaku Curanmor yang sukses dibekuk oleh aparat, diakuinya semua ada didalam buku catatan kriminal yang masih dipegang oleh aparat Kepolisian.
            “Ada seorang pelaku dibawah umur yang nyaris dihakimi massa karena Curanmor. Nyawanya terselamatkan setelah orang tuanya mampu menggantikan kendaraan yang dicuri itu dengan motor baru di dealer. Orang tuanya adalah orang berada. Ini salah satu indikator bahwa sesungguhnya kejahatan Curanmor ini bukan karena alasan ekonomi. Tetapi, diduga kuat karena pengaruh Tramadol dan Narkoba. Kedepan harus dilakukan tres urinya juga terhadap setiap pelaku Curanmor dan tindak kejahatan lainnya,” harapnya.
            Nilai-nilai sudah bergeser jauh, dan penjahat kini terkesan mampu membuat orang baik-baik menjadi tidak berdaya. Indikasi itu ditemukan melalui hilangnya sikap kooperatif masyarakat ketika aparat memburu pelaku kejahatan di daerah ini. “Dan diduga kuat ada penjahat yang siap melawan Tokoh dan Aparat ketika kejahatannya diganggu. Tetapi, kita juga tidak bisa menafikan adanya keberanian masyarakat menghakimi sendiri terhadap beberapa pelaku kejahatan. Wartawan juga sering menulis soal itu kok,” tandasnya.
            “Dulu, semiskin-miskinnya orang Bima, lebih baik memilih mati ketimbang mencuri. Kini, pelaku  kejahatan yang tergolong berkecukupan lebih memilih Curanmor, Jambret dan kejahatan ketimbang kerja halal ketika dompetnya tidak lagi berisi. Ini soal moral, agama dan budaya yang mereka abaikan-bukan karena soal ekonomi, Bung. Kenapa tidak mau dengan buruh di pasar,” tanyanya.
            Kapolda NTB melalui Kabid Humas AKBP Hj. Tribudi Pangastuti saat berkunjung ke Bima beberapa hari lalu, pun angka bicara soal maraknya peristiwa Curanmor di NTB, termasuk di Bima. Ada tiga jenis pencurian, yakni dengan kesempatan, pencurian dengan kekerasan dan pencurian biasa.
            “Antisipasi soal Curanmor, kita berharap adanya kepedulian pemilik kendaraan itu sendiri. Sebab, Curanmor itu terjadi karena adanya niat dan kesempatan. Kalau pelaku, memang sebelumnya sudah mempunya niat. Niatnya adalah mencari orang yang lengah. Dan, kesempatan digunakan oleh pelaku ketika pemilik kendaraan menyimpan atau memarkir motornya sembarangan alias tidak mengawasinya. Oleh karena itu, kita berharap agar siapapun lebih mengoptimalisasikan kepeduliannya, baik terhadap kendaraannya maupun harta bendanya,” jelasnya.
            Menyoal adanya sindikat dibalik Curanmor, diakuinya ada di Mataram dan sekitarnya. Tak hanya itu, hal sama juga ada di Bima. “Kalau di Mataram dan sekitarnya, memang ada sindikat dibalik tindak pidana kejahatan Curanmor. Saya lihat akhir-akhir ini, di Bima juga ada dindikatnya,” ungkapnya. (TIM VISIONER) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.