Ketika Dilan Ingin Menjadi Guru

Muhammad Arifudin
Oleh: Muhammad Arifudin

Katakan kepada Dilan, “Menjadi guru itu berat, kamu tidak akan sanggup, biar aku saja!” 

Dunia pendidikan secara khusus dan Bangsa Indonesia secara umum kembali sangat berduka. Menjadi guru kembali menjadi teraniaya dan bahkan sampai meregang nyawa. Ahmad Budi Cahyono, Seorang guru SMA Negeri 1 Torjun, Sampang, Madura, Jawa Timur, meninggal dunia setelah mengalami penganiayaan oleh siswanya sendiri.

Padahal Budi hanya menegur siswanya tersebut karena melakukan tindakan yang dianggap mengganggu proses pembelajaran. Namun, ternyata air susu dibalas air tuba. Penganiayaan bahkan dilakukan di dalam kelas saat proses pembelajaran sedang berlangsung dan berlanjut di luar kelas setelah jam pembelajaran berakhir.

Budi bukanlah orang pertama yang mendapatkan penganiayaan karena tugasnya sebagai guru–karena menegur tindakan siswanya. Sudah banyak Budi-Budi lain yang mengalami tindakan serupa.

Misalnya seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan pada 2017 silam, dimana orang tua siswa melakukan tindakan pemukulan terhadap salah seorang guru di SDN Keraton 3 Martapura. Pemukulan disebabkan oleh kekecewaan dari orang tua siswa terhadap seorang guru yang dianggap berlaku tidak adil terhadap anaknya (tanpa bukti yang jelas).

Kejadian seperti ini pun bukan yang pertama kali terjadi, yaitu orang tua siswa tiba-tiba datang ke sekolah untuk protes dengan emosi yang tinggi dan langsung mengambil tindakan sepihak yang sangat jauh dari kata-kata dan tindakan baik dan tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.

Kejadian-kejadian tersebut secara tidak langsung tentu akan memberikan dampak berupa munculnya kekhawatiran dan rasa takut bagi guru-guru ditempat lain untuk menegur beragam tindakan yang dilakukan siswanya–meskipun sebenarnya salah. Sehingga secara perlahan akan terjadi pembiaran oleh guru terhadap segala tindakan siswa-siswanya.

Menjadi guru, menjadi terancam. Terancam bukan hanya oleh siswanya sendiri, tapi juga oleh para orang tua siswa.

Padahal Dalam Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat 3 bahwa pendidik wajib dinyatakan dengan jelas bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan, meliputi perlindungan terhadap: a) tindak kekerasan; b) ancaman; c) perlakuan diskriminatif; d) intimidasi; dan/atau e) perlakuan tidak adil, dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut merupakan perlindungan yang bersifat wajib yang diberikan kepada guru, salah satunya oleh orang tua sebagai anggota masyarakat yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Namun, hingga hari ini kita masih belum bisa mendapatkan gambaran jelas, sudah sejauh mana perlindungan yang diberikan kepada guru sebagai seorang pendidik tersebut direalisasikan.

Menjadi guru bukan suatu pekerjaan yang mudah. Menjadi guru tidak hanya sekedar menyampaikan materi pembelajaran saja, tapi juga menanamkan nilai-nilai baik. Prestasi akademik dan bertingkah laku baik merupakan dua hal yang saling menyatu dan tidak bisa dipisahkan dalam dunia pendidikan. Keduanya merupakan tujuan yang senantiasa diusahakan untuk dicapai.

Menjadi guru itu tidak mudah. Menjadi guru tidak sekedar masuk kelas kemudian menyampaikan atau menjelaskan sesuatu, selesai! Menjadi guru perlu perencanaan yang matang tentang apa yang harus disampaikan kepada siswanya, bagaimana menyampaikannya, nilai apa yang harus ditanamkan kepada siswanya dan bagaimana cara menanamkan dan merawatnya.

Hal tersebut ditujukan bukan kepada  satu orang siswa saja, melainkan puluhan. Menjadi guru berarti menjadi teladan. Teladan dalam wawasan keilmuan dan teladan dalam perbuatan, sikap dan perkataan.

Menjadi guru juga tidak menjanjikan kekayaaan. Tak ada orang menjadi kaya hanya karena menjadi guru. Jika kita perhatikan kondisi para guru hari ini, dengan beban tanggungjawab bukan hanya sekedar memastikan agar siswanya bisa dan lulus ujian, namun juga harus memastikan agar siswanya bertingkah laku baik, menjadi manusia seutuhnya yang senantiasa mencintai keindahan, kebaikan dan kebermanfaatan, namun tidak sedikit guru yang hanya digaji seadanya.

Guru tetaplah guru. Gaji baginya bukanlah persoalan utama. Keberhasilan siswanya-lah yang utama, yaitu keberhasilan untuk berprestasi akademik tinggi dan kemampuan untuk selalu bertingkah laku baik. Jika siswa bisa manampilkan prestasi akademik dan bertingkah laku secara baik, maka guru akan dipuji. Namun jika siswa menampilkan prilaku-prilaku yang kurang baik, maka selalu guru dan lagi-lagi hanya guru yang disalahkan. Seakan-akan guru memiliki tanggungjawab penuh dan penentu atas segala tindakan siswanya (tanpa ada keterlibatan pihak orang tua dan masyarakat), padahal guru juga memiliki keterbatasan.

Menjadi guru itu berat, penuh tantangan dan kadang bersifat ancaman. Menjadi guru itu harus ikhlas, tanpa pamrih meski kadang harus berjalan tertatih. Menjadi guru itu berat, hanya kamu yang siap berkorban jiwa dan raga demi kebaikan bangsa yang bisa. Wallahu a’lamubisshawab (##Opini ini Murni Tanggungjawab Penulisnya##)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.