Sejak Banjir Bandang Hingga Sekarang, Janda Hidup di Gubuk Layaknya Kandang Kambing

Janda Bernama Sarfiah Sedang Berdiri di depan Rumahnya
Visioner Berita Kota Bima-Banjir bandang yang menghajar Kota Bima pada penghujung Desember 2016 hingga masyarakatnya dinilai miskin seketika, sesungguhnya telah berlalu. Namun, harapan akan perbaikan rumah warga baik di bantaran sungai maupun di luar bantaran sungai akibat banjir bandang, hingga kini belum juga tuntas. Padahal, rentang waktu sejak terjadinya banjir bandang sampai dengan hari ini sudah terhitung tiga tahun lamanya.

Kelambanan penanganan pasca bencana banjir bandang itu, kerap menuai pertanyaan dan bahkan kecurigaan. Salah satunya, penanganan secara integrasi antara Dinas Perkim dan BPBD Kota Bima yang terkesan tak nyambung menjadi salah satu dugaan sebagai pemicu utama bagi molornya penanganan pasca bencana di Kota Bima ini.

Yang tak kalah membingungkan, juga terjadi program penangaan pasca bencana yang seolah tidak selaras seperti BSPS dan bedah rumah yang diterapkan pada pembangunan kembali rumah warga yang tertimpa banjir bandang. Padahal, menurut anggota DPRD Kota Bima Dedi Darmawan menegaskan bahwa tidak ada korelasinya antara program BSPS dan bedah rumah dengan penanganan pasca bencana.

Sarfiah Sedang Berdiri di Ruang Tamu di Rumahnya
“Anggaran penanganan bencana banjir bandang sudah ada kok, kenapa muncul lagi program beda rumah dan BSPS. Sebaiknya jangan aneh-aneh, dan program yang dinilai tumpang tindih bahkan membingungkan itu menjadi salah satu faktor atas keterlambatan penanganan pasca bencana,” timpal duta Hanura yang juga Caleg DPRD Kota Bima periode 2019-2024 nomor urut 1 Dapil Punda dan Rasanae Barat ini.

Liputan langsung Visioner pada Rabu (20/3/2019) di RT06/02 Kelurahan Paruga Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima bersama kawan Jeff, terlihat sebuah protret miris terkait penanganan pasca bencana banjir bandang tahun 2016. Rumah milik seorang janda bernama Sarfiah, terlihat hancur akibat diterjang oleh bencana banjir bandang.

Atap rumah sudah turun ke bawah, dindingnya hancur, perabot rumah ludes dan hal miris yang sama juga terlihat pada sisi-sisi lainnya. Sejak terjadinya banjir bandang, Sarfiah harus hidup di rumah layaknya kandang kambing itu. Untuk melihat lebih dekat, Visioner harus masuk dengan cara jongkok menuju kamar tidurnya Sarfiah ini.  

Fakta yang terlihat pada liputan langsung Visioner tersebut mengungkap, Sarfiah tidur di sebuah kamar dengan kasur namun dikelilingi oleh rawa-rawa, dinding kamar yang bolong di berbagai sisi, ruang tamu dipenuhi kayu bekas banjir, lantai tanpa plur, atap yang terbuat dari gentengnya sudah hancur.

Sarfiah di Kamar Tidurnya
“Saya tidur di sini menggunakan kelambu untuk menahan nyamuk. Tetapi tiap malam harus rela kedinginan karena semua sisi sudah bolong. Perabot rumah ini semuanya sudah hancur karena banjir bandang. Penderitaan ini berlangsung sejak 2016 sampai sekarang ini. Saya hanya bisa menyampaikan ini kepada Wartawan, semoga mereka mendengarnya,” harapnya.

Untuk menopang hidup, hanya dengan menjual cilok alias salome dalam bahasa Bima. Bantuan yang diteriamnya dari Pemerintah terkait penanganan pasca bencana, diakuinya hanya berupa uang Rp500 ribu (cash of work). Sementara anggaran Rp69 juta untuk pembangunan rumahnya, sampai sekarang tak kunjung terwujud. “Yang membingungkan, ada salah seorang warga yang hanya numpang di rumah kakeknya, menerima bantuan sebesar Rp69 juta. Padahal, rumahnya tidak hancur,” ungkapnya.

Sarfiah mengaku, berkali-kali petugas dari sejumlah instansi hanya datang mencatat sekaligus mendokumentasikan kondisi rumah itu. Tak hanya itu, KTP, KK dan lainnya pun diberikan kepada petugas dimaksud. Namun, hasilnya sampai sekarang tak kunjung terwujud. Ada lagi petugas dari Pemprov NTB yang datang mensurvey, katanya akan membangun kembali rumah ini tahun 2019 ini. Namun, faktanya sampai sekarang hanya datang mencatat sembari memberi janji,” bebernya.

Sarfiah Bersama Kawan Jeff
Berkali kali ia melaporkan kondisi ini kepada Kelurahan setempat. Namun, diakuinya sampai sekarang tak kunjung di jawab. “Saya bingung dan bertanya-tanya harus mengadu kemana lagi. Anda bisa menyaksikan sendiri tentang bagaimana menderitanya saya hidup sebatang kara dalam rumah seperti kandang kambing ini. Saya tidur di balik dinding dan atap rumah yang sudah bocor. Kondisi di dalam rumah ini juga dipenuhi sampah. Lihat saja kondisinya sekarang yang hampir tumbang. Kalau tidak ditahan dengan kayu balok, mungkin saja rumah ini sudah lama roboh. Tolonglah, memohon membantu adalah hak kami yang juga menjadi tanggungjawab Pemerintah,” pintanya.

Yang hancur diterjang banjir bandang bukan saja fisik rumah, tetapi semua isi rumah termasuk perabotnya. “Saya tidak nyaman hidup di dalam rumah ini. Namun karena terpaksa, saya harus berada di rumah ini. Masalahnya, saya tidak punya lahan dan biaya untuk membangun rumah baru. Oleh karenanya, saya mohon kepada Pemerintah untuk hadir sekaligus menjawab kondisi yang sedang saya alami ini,” pintanya lagi.

Musim hujan sudah terjadi dan intensitasnyapun tak bisa dihindari oleh Sarfiah. Untuk menghindari hujan, Sarfiah terpaksa berteduh di rumah anaknya yang berada di sebelah utara rumah yang sudah hancur itu. “Penantian saya agar rumah tersebut diperbaiki oleh Pemerintah sudah cukup lama. Maka pertanyaan selanjut, sampai kapan saya harus menikmati penderitaan ini,” tanyanya dengan nada lirih.

Secara terpisah, Kepala Kelurahan Paruga Haerunas S.Sos yang dimintai komentarnya menyatakan telah melihat secara langsung kondisi rumah milik Sarfiah tersebut. Data-data tentang kondisi rumah tersebut, pun telah diketahuinya. Yang melihat secara langsung rumah tersebut, juga dari pihak Dinas Perkim Kota Bima melalui Fasilitas Kelurahan (Faskel) yang telah dibentuknya.

Liputan Langsung Visioner Pada Sebuah Kondisi memprihatinkan (Rumah Sarfiah)
“Mereka sudah mendatanya, namun sampai sekarang tak kunjung memperbaikinya. Anehnya, setiap Faskel turun ke Kelurahan terkait penanganan Pasca bencana itu sama sekali tidak berkoordinasi dengan kami di Kelurahan. Kecuali, mereka langsung turun sendiri. Padahal saat sosialisasi, mereka sangat intens melibatkan kami di Kelurahan,” ungkapnya, Rabu (20/3/2019).

Ada beberapa program yang ditawarkan untuk perbaikan rumah warga terkait penanganan pasca bencana banjir bandang tahun 2016. Diantaranya bedah rumah dan program BSPS dari Pemprov NTB. Untuk rumah Sarfiah itu, katanya akan ditangani dengan program BSPS NTB.

“Mereka berjanji akan membangun rumah Sarfiah itu pada 2019 ini. Ya, kita tunggu saja realiasasinya atas janji mereka itu. Di Kelurahan Paruga ini, sekitar 13 rumah warga yang terdampak bencana. Lokasinya tersebar di beberapa Lingkungan di Kelurahan Paruga. Dan semuanya, sampai sekarang belum juga dibangun,” tandasnya.

Terkait penanganan pasca bencana khususnya insitu (setempat), terlihat ada cara kerja yang dinilainya agak unik. Misalnya, Kelompok Masyarakat (Pokmas) yang semula ditunjuk untuk membelanjakan material di toko sesuai kesepakatan. Namun dalam perjalanannya, justeru Pengawas yang langsung mengarahkan Ketua Pokmas untuk mengambil material bagi keperluan pembangunan rumah warga terdampak bencana banjir bandang.

“Uniknya, nota pengambilan material tersebut justeru ditandatangani oleh Ketua Pokmas dan bendahara. Jika pada saatnya nanti terjadi masalah, maka Ketua Pokmas dan Bendahara lah yang bertanggungjawab. Padahal kesepakatan awal melalui tahapana sosialisasi, pembelanjaan material tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Pokmas,” ungkapnya.

Kepala Kelurahan Paruga, Haerunas S.Sos
Lepas dari itu, keterlambatan penanganan pasca bencana juga menimpa 12 Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Sarae Kecamatan Rasanae Barat. Dari jarak terjadinya bencana banjir bandang tahun 2016, belasan rumah tersebut baru dibangun pada tahapan pertama menggunakan anggaran dari BNPB. Rumah warga yang sedang dibangun tersebut, masuk dalam daftrar Insitu. Soal yang terjadi di Sarae ini, juga berhasil mengusung aksi demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat.

Kondisi yang sama (Insitu) juga menimpa lebih dari 3 KK di Kelurahan Na’e Kecamatan Rasanae Barat Kota Bima. Liputan langsung Visioner menguak, rumah warga tersebut sempat dibangun dasarnya, selanjutnya pembangunannya dihentikan kembali. Mirisnya, sejumlah KK tersebut sampai sekarang tak jelas domislinya.

Fenomena yang terjadi dalam kaitan itu, Pemerihati Masalah Sosial yakni Drs. Amirudin angkat bicara. Amir menduga, sepertinya ada sesuatu yang tak beres terkait program penanganan pasca bencana ini. Pun, ia mensinyalir adanya bau-bau penyimpangan, salah satunya soal pembelanjaan material yang diarahkan pada toko bangunan yang telah mereka sepakati.

“Ruang-ruang ini sesungguhnya juga menjadi point penting bagi pihak Kepolisian maupun Kejaksaan untuk menelusurinya secara mendalam. Harapan saya, bongkar semua data pada Dinas Perkim maupun BPBD Kota Bima dan kemudian dipadukan dengan anggaran yang dibelanjakan pada toko-toko material yang mereka tunjuk. Maaf, ini sekedar dugaan saja,” ujarnya.

Dia juga mendesak agar Walikota-Wakil Walikota Bima sekarang untuk membongkar semua data terkait bantuan yang telah diterapkan kepada warga terdampak bencana banjir bandang tahun 2016 baik pada kategori rusak berat maupun sedang. “Jangan-jangan ada bantuan yang tidak tepat sasaran, sebab dugaan tersebut terus terkuak di atas permukaan. Semoga pihak penegak hukum segera menjemput bola terkait dugaan-dugaan ini,” duganya.

Hingga berita ini ditulis, Kadis Perkim Kota Bima Ir. Hamdan, Kabid Perumahan pada Dinas Perkim setempat, Muktadi dan Kepala BPBD Kota Bima Ir. H. Sarafudin belum berhasil dikonfirmasi. Visioner mencoba menghubungi Hamdan maupun Muktadi melalui saluran selulernya, namun sampai sekarang belum juga berhasil. Karena, seluler keduanya masih dalam keadaan off. (TIM VISIONER)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.