Gebrakan Kontroversial Jaksa Agung, Tajam ke Koruptor Tetapi Humanis ke Rakyat Kecil
![]() |
Jaksa Agung, ST Burhanuddin Dok.Foto:RANMOLJATIM |
Maka
takheran, ketegasan Jaksa Agung ini praktis saja membuat para koruptor ketar-ketir sehingga nekat
melakukan serangan balik terhadap institusi Kejaksana dan Jaksa Agung baik
secara pibadi, dan bahkan menyebutnya kontroversia. Demikian dikutip Media ini
melalui Media Online RANMOLJATIM.
Kendati
demkian, sedikitpun Burhanuddin tak bergeming. Malah dibawah kepemimpinanya,
kinerja Kejaksaan Agung diakui kian kuat dan ditakuti oleh para koruptor. Indikasi itu tercemin melalui banyaknya kasus korupsi
dalam skala besar dan rumit yang berhasil dibongkar hingga diseret Pengadilan
hingga para koruptor divonis penjara dan harta mereka disita untuk memulihkan
kerugian negara.
Catatan
penting berbagai Awak Media mengungkap, uang negara yang berhasil diselamatkan oleh
Kejaksaan Agung dimaksud sangat fantastis.
Diantaranya dari kasus Danareksa Sekuritas Rp105 miliar, kasus impor tekstil
Rp1,6 triliun, kasus Asuransi Jiwasraya Rp16 triliun, dan dari kasus Asabri
Rp22,7 triliun.
Sentilan
tegas Burhanuddin dinilai membuat koruptor dan aviliatornya “panas dingin”. Betapa
tidak, Jaksa Agung menegaskan tak pandang bulu untuk menjerat siapapun yang
melindungi koruptor. Ketegasan sekaligus ancaman Jaksa Agung ini, diakui
benar-benar dibuktikan melalui kasus megakorupsi Jiwasraya dan Asabri, serta kasus-kasus
lainya.
Terakhir,
Kejaksaan Agung menjerat anggota DPR RI yakni Alex Noerdin yang juga mantan
Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak
pidana korupsi pada Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumsel.
Namun
di sisi lain, Burhanuddin merasa sedih ketika ada rakyat jelata yang dihukum
layaknya kriminal, seperti kasus yang menimpa Nenek Minah dan Kakek Samirin. Burhanuddin
menilai, kedua orang tua miskin ini telah mendapat perlakuan hukum tidak pantas
dan tidak seyogianya diteruskan ke Pengadilan.
Nenek
Minah yang dimaksud oleh Jaksa Agung ini adalah seorang nenek yang berasal dari
Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah
(Jateng). Hakim Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menjatuhkan hukuman 1 bulan
15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan kepada Nenek Minah karena
mengambil tiga biji kakao di perkebunan milik PT/ Rumpun Sari Antan (RSA).
Sementara
Samirin (kakek berusia 68 tahun) asal
Simalungun, Sumatera Utara, dihukum 2 bulan penjara karena memungut getah karet
seharga Rp 17.000.
Sejatinya
kata Burhanuddin, Jaksa selaku pemilik asas dominus litis, adalah pengendali
perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke Pengadilan.
Jaksa Agun kemudian, penghentian perkara berdasarkan keadilan restoratif adalah
suatu bentuk diskresi untuk menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan
tujuan hukum yang ingin dicapai.
“Saya
ingin Kejaksaan dikenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang
mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus
mampu menegakkan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” tegasnya
dikutip Media ini dari Kantor Berita RMOLJatim, Rabu (22/9/2021) sembari menekankan Korps
Adhiyaksa tidak membutuhkan jaksa yang pintar tetapi tidak bermoral
Sebagai
acuan restorative justice, Jaksa Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan
(Perja) Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang diundangkan pada 22 Juli 2020.
Sejak
Perja ini diterbitkan, Kejaksaan Agung telah menghentikan 302 perkara.
Rinciannya, 222 perkara pada 2020 dan 80 perkara pada Januari-Agustus 2021 yang
terdiri dari 73 perkara orang dan harta benda serta 7 perkara terkait keamanan
negara dan ketertiban umum serta tindak pidana umum lain.
Ada
beberapa syarat penerapan Perja 15/2020, antara lain tersangka baru pertama
kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih
dari 5 tahun, serta barang bukti atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari
Rp 2,5 juta.
Gagasan
Jaksa Agung, ST Burhanuddin mengenai keadilan restoratif melalui pendekatan
hati nurani itu menjadi perbincangan di kalangan Akademisi dan Pakar Hukum Pidana.
Gagasan tersebut tidak hanya dinilai revolusioner karena bisa mereformasi
sistem peradilan pidana di Tanah Air yang masih terjebak pada pendekatan
retroactive/retributive/penjara, tetapi juga dianggap lebih manusiawi dan
Pancasilais.
Pendekatan
keadilan restoratif mampu memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil
dan hukum formil yang saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan
legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi
masyarakat.
Sebagai
apresiasi atas gagasan cemerlang itu serta kontribusinya di dunia hukum dan
perguruan tinggi, Burhanuddin dianugerahkan gelar Guru Besar atau Profesor
Kehormatan oleh Universitas Jenderal Soedirman.
Tidak
hanya itu, pendekatan keadilan restoratif dapat meminimalisir over kapasitas
penjara yang menjadi momok bagi Lapas di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri
Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan prinsip keadilan restoratif ini akan
diserap ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan (PAS).
"Dalam
KUHP. kita ada prinsip restoratif. Nanti KUHP yang baru akan ada restorative
justice. Tentu Undang-Undang PAS harus menyesuaikan," ungkap Yasonna,
Selasa (21/9/2021).
Sebelumnya,
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bersama pemerintah telah menyepakati tiga RUU
usulan pemerintah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas))
Prioritas 2021, yakni RUU PAS, RKUHP, serta RUU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE).
Semua gebrakan Jaksa Agung ini, mungkin dianggap kontroversial oleh koruptor. Namun harapan Burhanuddin sederhana. "Saya hanya ingin menorehkan prestasi terbaik untuk bangsa," ujarnya. (TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda