Kisah Tukang Masak-Penjual Minyak Gosok Kini Bergelar Doktor Pada Kampus Ternama (Succes Story)
*Pun Ia “Karatan” di Dunia Jurnalis-Kisahnya Sama Dengan
Hadi Santoso*
H. Ghazaly
Ama la Nora, tercatat sebagai anak kandung dari salah seorang Tokoh Donggo Kabupaten
Bima sekaligus pejuang tahun 1972, dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya
karena dituding makar oleh rezim yang dikenal ganas saat itu-sebut saja H. A.
Majid Bakri (Almarhum). Majid Bakri tentu tak saja sendiri dibalik jeruji.
Tetapi, bersama-sama dengan Tokoh Donggo
lainnya yakni H. Kako (Almarhum), H. Abas Oya (masih hidup) dan Jamaludin H. Yasin
(Alarhum).
Berawal dari
pelarian ke Jakarta, 1970 tepatnya dua tahun sebelum pertiwa Donggo meletus, secara diam-diam
Ghazali Ama La Nora menyelinap masuk ke Toilet Kapal Badung. Setelah teluk
Asakota (perairan Bima), ia kemudian keluar dan kemudian membaur dengan
penumpang lain alias berpura-[ura buang air besar (BAB). Sementara kakak Abang
Iparnya yang bernama Yahya Usman dan isteri Fatmawati yang saat itu tengah
istrahat di Dek Kapal, spontan saja terperanjat melihat seraya berbicara pada
situasi itu. “Astagfirullahul Adzim. Dari mana kamu, na made ra ina wa'imu ro
ibu-bapakmu nggomi. Nekad banget kamu," tuturnya di hadapan penumpang lain
saat itu.
"Saya sudah punya firasat kalau kami akan dimarahi. Namun, kami pun memasang strategi. Yakni meminta supaya masuk ke rumah terlebih dahulu, selanjutnya saya menyusul. Bagaikan gayung bersambut, begitu Iqraman masuk pintu langsung disambut bogem mentah oleh sang paman. Melihat Iqraman dihadiahi bogem, tidak berpikir panjang lagi saya langsung balik kanan dan selanjutnya lari tunggang langgang sekaligus melarikan diri ke Kota Beos hingga masuk ke Pasar Ikan Jakarta Utara (Jakut)," kenang Doktor Ghazaly.
Di Jakut Ghazaly keluar-masuk warung-toko
melamar pekerjaan yang berujung pada diterimanya menjadi Pakolo (tukang masak)
di perahu layar orang Bugis dibawah Nahkoda Puang Abdullah yang berlokasi di
Pasar Ikan Jakarta Utara. Selama dua tahun berlayar pulang pergi ke Pasar Ikan Jakut-Sungai
Lumpur Sumsel, ia mengaku berhasil mengumpulkan uang dari gaji bulanannya, selanjutnya
ke Darat untuk melanjutkan sekolah.
Rata-rata kesukses tidaklah dicapai dengan
cara mudah. Tetapi, melalui proses dan tahapan yang sangat panjang, berat dan
bahkan berliku. Seperti untaian salah satu falsafat kuno menjelaskannya,
sesungguhnya kesuksesan itu terukur kepada seberapa mampunya setiap orang
melewati “lubang jarum”. Tetapi, tidak semua orang bisa memaknainya. Kesuksesan
juga salah satunya bermodalkankan keberanian, keuletan, kepekaan, ketulusan
hingga kejujuran. Pun perjuangan mewujudkan mimpi menjadi sukses, tentu saja
tak ada kata menyerah. Sebaliknya, maka setiap orang akan berhadapan dengan
kegagalan dalam hidupnya.
Coretan singkat bernuansa filosofi tersebut, merupakan rekam-jejak dari seorang Doktor Ilmu Komunikasi, mantan Wartawan Senior, anak Tokoh Donggo dan kini masih berprofesi sebagai Dosen pada Universitas Mercu Buana Jakarta bernama H. Ghazaly H. A. Majid Bakri alias Ghazaly Ama la Nora. Tak hanya Ghazaly Ama La Nora yang merasakan piluhnya kisah sebelum ia sukses, tetapi juga Hadi Santoso ST, MM (Ceo Sentral Muslim Group), Dosen di berbagai Kampus Swasta di Bima, Ketua APSEL Bima, Ketua IKATEK UNHAS Makassar-Sulsel Wilayah Bali Nusra dan juga menjadi Nakhoda di beberapa Lembaga lainnya.
Dr. H. Ghazaly Ama La Nora |
Kendati lahir dari rahim Tokoh ternama
sekaligus pejuang yang tak kenal menyerah, Ghazaly Ama La Nora-demikian sapaan
akrabnya, masih berpenampilan biasa-biasa saja. Tokoh berbadan mungil ini, juga
dikenal humoris, komunikatif, supel, rendah diri, baik hati, mudah bergaul,
dikenal tegas dan bahkan berani pada tataran kebenaran yang diyakininya.
Berbicara sahabat, dia tak memiliki sekat. Yakni bersahabat dengan semua orang,
mulai dari “melarat” hingga Politisi kelas elit hingga pejabat di berbagai
level.
Ia adalah “anak gunung” yang lahir di wilayah
perbukitan nan terjal dengan kondisi ekonomi tak seperti orang Kota lain.
Suami dari Hj. Hadnah M. Tayeb ini sejak kecil memberanikan diri merantau ke Kota besar bernama
Jakarta. Kerasnya dinamika hidup di Jakarta pada puluhan tahun silam, tak membuatnya
menyerah. Sebagai warga baru di Kota Betawi (Jakarta) yang kaya akan
hiruk-pikuk, Ia ogah ditindas oleh peliknya kondisi. Dan karena darah Tokoh
sekaligus pejuang penting yang mengalir dalam dirinya, ia pun mengambil
memutuskan untuk menafkahi dirinya pada jalan yang halal.
Kisah itu terjadi puluhan tahun silam, ia
mengawali pekerjaan sebagai tukang masak pada sebuah warung dengan gaji apa
adanya. Profesi ini ditekuni lumayan lama, dan selanjutnya ia pun beralih
pekerjaan menjadi pejual minyak gosok (minyak kayu putih dan minyak lawang).
Profesi ini ditekuni juga sangat lama, tercatat puluhan tahun dia menyasar seluruh
wilayah Jakarta untuk berjualan minyak gosok dengan tanpa harus menyerah karena
sengatan matahari dan bahkan diguyur hujan.
Perjuangan keras yang dilakoninya puluhan
tahun tersebut, tentu saja memiliki tujuan mulia. Yakni, hasil dari profesi
sebagai tukang masak hingga berjualan keliling minyak gosok dimanfaatkannya
untuk membiayai sekolah hingga kuliahnya pada sebuah Kampus Swasta di wilayah Jakarta Barat,
Fakultas Komunikasi Jurusan Publisistik. Dari kerja kerasnya tersebut, gelar
sebagai seorang Sarjana Komunikasi pun sukses diraihnya.
Dengan modal Ilmu Komuniasi yang melekat pada
dirinya, maka dengan mudah pula ia mendapatkan pekerjaan sebagai seorang
Junrlias. Perjalanan kariernya di dunia Jurnalistik, tergolong sukses. Namanya pun kian melesat tajam, sebab dengan
profesi sebagai kuli tinta ia sukses di kenal oleh Politisi, Pengusaha maupun
pejabat di berbagai level. Dan dengan profesi itu pula, ia pun cukup di kenal
di tubuh Polri maupun TNI hingga saat ini.
Garis nasib setiap manusia memang berbeda,
Ghazaly Ama La Nora memang tergolong cukup sukses dalam dunia Jurnalis. Hasl
jeripayanya dari dunia Jurnalis, pun dimanfaatkannya untuk membangun beberapa
rumahnya di bilangan Jakarta Barat (Jakbar), menghidupi isteri dan
anak-anaknya, membiayai kuliah adik-adik kandungnya serta ipar-iparnya. Dan
dari rezeki yang diperolehnya di dunia Jurnalis, ia bersama isterinya, mertua
dan kedua orang tuanya pergi Haji ke Tanah Suci Mekkah.
Ghazaly Ama la Nora, selain aktif fi sejumlah
media cetak waktu itu-ia pun memiliki posisi penting pada sebuah Perusahaan
Media Massa (Bali Post). Pun, dia adalah Wartawan senior dan tercatat sebagai
salah satu pendiri Tabloid KILAS. Perjalanan hidup bersama keluarganya,
tergolong mulus. Memburu ilmu baginya, tak kenal kata berhenti. Modal S1
Komunikasi, rasanya tak cukup baginya. Praktisnya, ia pun melanjutkan study pasca
sarja pada salah satu Kampus yang tak kalah tenarnya di Jakarta. Alhasil, ia
pun pun menyandang predikan S2 Komunikasi.
Setelah sukses meraih predikat sebagai S2
Komunikasi, ia pun melamar sebagai Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi pada
Universitas Mercu Buana Jakarta. Dan, sapai sekarang Ia masih berprofesi
sebagai Dosen pada Kampus itu. Pun, ia tecatat sebagai salah satu Dosen Senior
di Univeritas Mercu Buana Jakarta. Sementara generasi Ilmu Komunikasi yang
diterbitkannya bukanlah sedikit.
Gelar S2 yang disandangnya, tak membuatnya
harus puas. Selanjutnya, Ghazaly Ama la Nora pun melanjutkan kuliah Doktor
Fakultas Ilmu Komunikasi pada Universitas Sahid Jaya Jakarta. Hasilnya, kini ia
pun sukses menyandang gelar Doktor. Kendati demikian, hingga kini masih masih
berprofesi sebagai Dosen pada Universitas Mercu Buana Jakarta.
Usai dinobatkan sebagai seorang Doktor, Dr.
H. Ghazaly Ama La Nora angkatan tahun 2010 ini, mengaku nyaris putus asa
menyelesaikan Studi S3 lantaran terkendala rutinitas sebagai Dosen Komunikasi
di Universitas Mercu Buana, Jakarta dan di sejumlah Perguruan Tinggi lainnya di
Jakarta. Tokoh Karatan dalam dunia
Jurnalistik ini dalam pidato promosi Doktor yang mengadvokasi masyarakat,
media, pekerja jurnalis, Calon Presiden dan Pemerintah ditegaskan agar tetap
berada dalam ranah etika profesionalitas.
"Masyarakat harus cerdas mengkosumsi isi
berita. Sebab, dalam berita ada muatan ideologi dari pekerja media dan industri
media. Jangan tergantung pada satu media yang dianggap paling sesuai perspektif
pembaca, tetapi juga di media-media lain. Bisa juga Media Sosial (Medsos) agar memiliki
alternatif sumber dan alternatif opini," jelas Ghazaly Ama La Nora yang
didampingi oleh isterinya yakni Hj. Hadnah, ibunda Hj. Harifah (mertua), Ketua
Sidang Prof. Dr. Ir. Kholil, M. Kom, Promotor Prof. Dr. Ahmad Sihabuddin, M.Si,
Co Promotor Dr. Asrul Mustaqim, M.Si, Penguji Prof. Dr. Sunarto, M.Si, Dr. T.
Titi Widianingsih, M.Si, Dr. Jamalullail, MM, M.Si, dan Sekretaris Sidang, Dr.
Widiawaty.
Ghazaly Ama La Nora menegaskan, berita itu
bukan semata-semata komoditas bisnis, tetapi juga informasi yang obyektif dan
jujur. Orientasi industri media terangnya, bukan karena hanya ingin meraih
keuntungan secara materi (financial) lantas mengorbankan kepentingan
masyarakat. Oleh sebab itu, ayah lima orang anak dan tujuh cucu ini meminta pekerja media (Jurnalis)
agar selalu berupaya belajar dan secara konsisten berpihak pada profesi yang
menjunjung tinggi etika profesional. Ketika merasakan ada tekanan dari ruang
redaksi bahkan pemilik imbuhnya, Jurnalis harus bisa meniti buih agar tetap
profesional melaporkan peristiwa sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada publik.
Konsekuensi akan semakin ditinggalkan pembaca
yang diperkotaan beralih ke new media (media baru) berbasis.com, internet karena sangat diakses
infomasinya selalu terbarukan. Sedangkan konskuensi bagi jurnalis akan dianggap
sebagai aparatur manajemen dan industri media sekaligus mengabaikan kepercayaan
masyarakat terhadap jurnalis sebagai agen pejuang kebenaran. Lalu, lanjut dosen
eksentrik mengingatkan baik calon presiden petahana maupun kandidat baru perlu
menempatkan media pada posisinya yang benar. Media adalah mediator penghubung
capres dan cawapres dengan warga calon pemilihnya.
Ghazaly Ama La Nora kembali menegaskan, media
mesti menyajikan informasi yang sahih berdasarkan fakta, bukan informasi sampah
yang bersifat insinyuasi/hisapan jempol belaka. Informasi sahih dan benar,
tentu akan mencerdaskan-bukan justeru memecah-belah warga karena kebanyakan
warga terlalu peduli untuk memeriksa kebenaran informasi.
“Masyarakat justeru bisa menjadi agen
penyebar kebenaran, bukan ikut-ikutan menyebar ujaran sampah yang menimbulkan
permusuhan. Untuk itu, saya menyatakan bahwa jenis informasi sampah akan
bertemu sifat dasar industri media yang melakukan komodifikasi. Dan inilah yang akan meluluhlantahkan kesatuan
masyarakat yang sangat susah dipulihkan bila sudah terlanjur hancur," timpalnya.
*Uraian Komplit Dari Kisah Doktor Yang Sempat Tukang Masak dan Penjual Minyak Gosok
Keling*
Moment Terindah disaat Ia dinobatkan dengan gelar Doktor |
Ghazaly yang saat itu masih berusia kecil,
hanya tertunduk membiarkan omelan itu berlanjut sambil bergumam dalam hati.
"Rasain saya kerjain kamu orang. Waktu
di Donggo saya minta baik-baik untuk ikut malah dimarahi,”cetus Ghazaly
kala itu.
Tiba di Jakarta, ia mengaku numpang hidup di
rumah Paman Hamzah Hasan yang berprofesi guru di SMP Negeri 88 Slipi Jakbar.
Karena saat itu, tiba di jakarta bertepatan dengan tahun ajaran baru daftar
murid baru. Untuk itu, Ghazaly pun ikut didaftar oleh pamannya ke SMP Muhamadiyah Slipi Blok B Jakarta Barat
yang saat itu gurunya mayoritas asal Bima. Angkatan pertama dengan tiga orang
murid, yakni Kholil, Ghazaly, dan Abdul Manan. Tahun kedua setelah naik kelas
tidak mampu bayar sekolah, sebab pendapatan jadi tukang Parkir liar tidak bisa
menutupi kebutuhan hidup dan biaya sekolah, untuk itu ia mencoba mencari
pekerjaan lain.
Namun karena masih kecil, orang tidak ada
yang mau menerima lamarannya. Pada suatu ketika terasa lapar, diam-diam dia
masuk kamar tidur pamannya dengan tujuan mengambil Pulpen Pilot dalam kantung
baju paman. Uniknya, Pulpen tersebut justeru ia jual ke Tukang Loak Pinggiran
Rel Kereta Api Tanah Abang bersama sahabatnya-sebut saja Iqraman Deo (Almarhum).
Uang hasil jualan Pulpen tersebut, digunakan
buat makan kami berdua dan membeli Keris kecil. Pulang ke rumah rumah rupanya
sudah punya filing tidak orang lain yang berani masuk kamarnya kecuali dirinya.
Benar juga, begitu melihat kami paman memanggil dengan santai. Ayo ke sini
sebentar saya mau ngomong," demikian Sang Paman memanggilnya.
"Saya sudah punya firasat kalau kami akan dimarahi. Namun, kami pun memasang strategi. Yakni meminta supaya masuk ke rumah terlebih dahulu, selanjutnya saya menyusul. Bagaikan gayung bersambut, begitu Iqraman masuk pintu langsung disambut bogem mentah oleh sang paman. Melihat Iqraman dihadiahi bogem, tidak berpikir panjang lagi saya langsung balik kanan dan selanjutnya lari tunggang langgang sekaligus melarikan diri ke Kota Beos hingga masuk ke Pasar Ikan Jakarta Utara (Jakut)," kenang Doktor Ghazaly.
Sebagai Dosen Ilmu Komunikasi, selain serius dia juga bisa tampil kocak hingga mahasiswanya menyambutnya dengan senyum dan tawa |
"Saat itu paman kaget dan pangling
melihat saya sudah berubah baik fisik maupun prilaku. Kami berpelukan campur
haru dengan paman seolah menyesali apa yang telah terjadi dua tahun lalu,"
tandasnya.
Tahun ajaran baru, dirinya kembali aktif
sekolah di Pendidikan Guru Agama (PGA) di Kampung Kecil Kebayoran Lama, siang
sekolah SMP Al Falah, Lantai Masjid Al Falah
Jalan Masjid I Pejompongan Jakarta Pusat (Jakpus). Untuk biaya sekolah,
ia menjual keliling minyak kayu putih, minyak gosok dan memungut paku bekas di sepanjang
jalan rel kereta api Pejompongan- Kebayoran lama sembari melanjutkan perjalanan
menuju sekolah PGA Al Islamiyah Kapung Kecil.
“Penjualan dilakukan malam hari ke Diskotiik,
Night Club dan hotel. "Alhamdulillah laris juga jualan cukup buat makan,
biaya bulanan sekolah hingga kuliah di sekolah tinggi publisistik (STP) Gedung
Canisius, Menteng Raya Jakarta Pusat," bebernya.
Sepulang berjualan keliling, ia tidur di
Mushollah Al Mukaram yang berlokas di Gang Tahiyat Slipi Kelurahan Gelora RT 08/RW
01, dan berdekatan dengan rumah pamannya. Sabtu-Mingu, peluang untuk berjualan kelililng
minyak kayu putih dan minyak gosok, ia mengaku bisa mengantongi keuntungan dengan
kategori lumayan.
Hingga sekarang paparnya, rekam jejak itu ia merentangkan benang merah
perjuangan hidup awalnya bersama adik iparnya yakni Haidun M. Tayeb (Staf Ahli
pada Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Sulaiman dan Ijma mendirikan CV Sari
Bumi Sakti. Khusus material minyak kayu putih dan minyak gosok, dikelola secara
profesional oleh Ijma dan sudah memiliki karyawan serta cabang penyulingan di
Banten dan Bogor Jawa Barat (Jabar).
Hasil omsetnya bernilai puluhan juta rupiah per bulannya. Minyak kayu
putih dan minyak gosok produksi CV Sari
Bumi Sakti, punya izin resmi dari Balai Pengawasan Obat dan makanan (BPOM), dan
punyahak paten dari Departemen Kehakiman Republik Indonesia Tangerang
Banten. Dari penjual kayu putih, setelah
tamat S1 ia beralih profesi menjadi jadi pekerja media (jurnalis) sembari melanjutkan
kuliah Pasca Sarjana (S2), dan mengajar di SMP/SMA swasta, dosen Univ Azzahra,
Mampang Prapatan Jakarta Selatan. Setelah tamat S2, mengajar di Univ Mercu
Buana-Jakbar hingga sekarang.
Hadi Satoso ST, MM (tengah)-dua orang Wartawan |
Coretan singkat bernuansa filosofi tersebut, merupakan rekam-jejak dari seorang Doktor Ilmu Komunikasi, mantan Wartawan Senior, anak Tokoh Donggo dan kini masih berprofesi sebagai Dosen pada Universitas Mercu Buana Jakarta bernama H. Ghazaly H. A. Majid Bakri alias Ghazaly Ama la Nora. Tak hanya Ghazaly Ama La Nora yang merasakan piluhnya kisah sebelum ia sukses, tetapi juga Hadi Santoso ST, MM (Ceo Sentral Muslim Group), Dosen di berbagai Kampus Swasta di Bima, Ketua APSEL Bima, Ketua IKATEK UNHAS Makassar-Sulsel Wilayah Bali Nusra dan juga menjadi Nakhoda di beberapa Lembaga lainnya.
Hadi Santoso, tercatat
berangkat dari orang tak berada. Aktif
di beberapa organisasi kemahasiswaan hingga lulus S1 Teknik pada UNHAS
Mkassar-Sulsel, dan sukses menggenggam gelar S2 (Master Managemen) pada salah
satu Universitas Ternama di Indonesia. Hadi Santoso, adalah asimiliasi
Jawa-Bima, dan bersiterikan wanita asal Kecamatan Donggo Kabupaten Bima.
Sekelumit cerita soal Hadi Santoso ST, MM
ini, ia juga mantan Wartawan pada beberapa Media Massa di NTB-sebut saja Garda
Asakota dan Tabloid Kilas. Hadi Santoso, pun merupakan pendiri Media Online www.visioner.co.id dan www.visionerbima.com dibawah payung PT.
Visioner Bima Perkasa.
Pengusaha muda Bima ini, meraih kesukses
bukanlah dengan cara mudah. Tetapi, melewati tantangan dan hambatan yang sangat
berilku. Pengusaha muda yang mengawali perjuangannya dari nol ini, sempat
menjelaskan tentang sebuah peristiwa pahit yang dialaminya dalam mengawali
usahanya. Yakni, ia pernah berjualan beras dengan cara memikul dari rumah-ke
rumah (door to door). Singkatnya, bermula dari merasakan pahit dan getirnya
hidup, selanjutnya Allah terus bersamanya hingga kini ia tampil sebagai salah
satu sosok muda yang sukses di Bima.
Hadi Santoso, pun dikenal jujur, tegas,
tulus-ikhlas membantu sesama, berani, konsisten-komitmen, berani, profesional-terukur
dalam menekuni usahanya, serta profesional, bertanggungjawab dan terukur pula
pada setiap perjuangan di bidang-bidang lain yang dilakukannya. Salah satunya, lewat perjuangan kerasnya-Hadi Santoso sukses mengantarkan Dr.H.Zulkieflimansyah-Dr. Hj. Siti Rohmi Jalilah, M.Pd menjadi Gubernur-Wakil Gubernur NTB periode 2018-2023. Kendati tercatat
telah sukses, namun Hadi Santoso masih berpenampilan biasa-biasa saja alias tidak
angkuh apalagi sombong dan jauh dari stigma serakah. (TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda