Identitas Yang Tergugat-Etnik Donggo Meradang
*Penulis : Alfin Syahrir (Kandidat
Doktor Dou Donggo Asli)*
PELECEHAN dan PENGHINAAN terhadap identitas kesukuan
menjadi perisitiwa yang kerapkapkali terjadi sebagai gejala universal di setiap
setting kebudayaan yang memiliki heterogenitas
tinggi. Mahathir Muhammad menyebutnya sebagai dilema integrasi dan pembauran.
Pluralitas kebudayaan, agama, bahasa dan adat istiadat memang memicu sentimen
primordial tumbuh berkembang sebagai
dampak sosial dari kompleks dan ketatnya kontestasi hidup. Baik soal
ekonomi, politik dan penguasaan sumber daya alam dan manusia.
Penghinaan terhadap etnik Donggo bukan kasus pertama
tetapi berulang terjadi dan baru yg terakhir membuat saya memberi reaksi. Dalam
perpekstif Piere Felix Bordieau apa yg diucapkan oleh oknum ASN di RSUD itu
disebut sebagai a
simbolic violence (kekerasan simbolik), yaitu kekerasan yg lembut atau a
gentle violence. Dioperasikan lewat tuturan verbal dalam bentuk diksi dan
narasi yang dimaksudkan untuk melekatkan karakter tertentu pada individu atau
kelompok.
Kekerasan
simbolik yang diucapkan saudari kita tersebut, kalau itu motifnya dilakukan
secara sengaja. Maka, Piere Bordieau menegaskan sebagai upaya untuk membentuk
semacam dominasi dan persepsi bahwa kebudayaan dan peradaban yang mengucapkan
hinaan lebih tinggi derajat, status dan kualitasnya dibanding keseluruhan
kebudayaan masyarakat etnik Donggo.
Saya
berharap ucapan yang merendahkan harga diri dan kehormatan masyarakat Donggo
dilakukan oleh Oknum Tersebut. Bukan karena kesengajaan tetapi lebih karena
ketidaktahuannya, kekhilafan dan ketidaksadaranya. karena kalau tindakanya
disengaja tentu tidak bisa ditoleransi. Karena itu untuk menguji motif
tindakan, ucapan dan perilaku terdakwa adalah dengan menguji original intent (tujuan/alasan
dasarnya). Karena itu para pihak harus mendengar dan mendapatkan keterangan dan
informasi primer dari tindakan tidak bijaksananya.
Masyarakat
Donggo adalah etnik yang telah mengalami banyak perubahan dan pergeseran
kultural yang pesat. Tidak lagi seperti dalam geografi imajinasi etnis lain yang
mengidentikan Donggo sebagai kawasan pegunungan yg dipenuhi hutan rimba, tertinggal, primitif dengan perilaku2 purba.
itu kesan sesat, asumsi tanpa bukti dan jejak antropologis dan arkeologis kami
di Donggo, membuktikan bahwa semesta sosial kami telah mewariskan hidup yang dijalani dengan kompas budaya dan ketinggian
peradaban. Terutama dalam politik, hukum dan toleransi seperti dilukiskan oleh
Peter Just, antropolog Austria dalam
buku langkanya" Dou Donggo" yang tersimpan rapi dalam rak buku saya.
Apa
yang dilakukan oleh saudari kita yang terbaru maupun yang sebelumnya adalah
tindakan dan pikiran picik yang menjelaskan rendahnya kearifan budaya sesama
orang Bima. Dalam teori kebudayaan tidak ada superioritas kebudayaan satu atas
yang lain. Ketinggian dan kerendahan suatu kebudayaan itu hanya soal paradigma,
tafsiran dan opini seperti lazimnya dilakukan oleh orang2 eropa dengan gagasan
mono dan poligenesis. Keyakinan tentang mengatakan orang eropa dan kebudayaanya
lebuh tinggi dari orang2 non eropa. Itu diperkuat oleh tesis Edward Said dalam
Orientalismenya bahwa tribalisme dan konservatisme budaya2 di asia adalah rekaan dan tuduhan yang sengaja
dan tidak sbg kenyataan kebudayaan itu sendiri.
Pelecehan Etnis Donggo apalagi dilakukan secara luas
melalui publikasi medsos tentu tindakan ceroboh, amatir dan tidak mereflesikan
semangat etik moral yang tinggi. orang Bima tidak lazim menjalin relasi sosial
kebudayaan yang diasosiatif( terputus /tegang) terutama dalam ruang dan kubus
geografi yg sama. Dou Mbojo seperti yg dideskripsikan oleh Zollinger sebagai
etnik yang religiusitasnya tinggi, gemar Menerbarkan semangat harmoni dan
integrasi sosial yang tinggi. Karena itu saya tersinggung kalau orang-orang
Donggo diasosiasikan dengan karakter dan persepsi yg negatif.
Hittler
dari Jerman membunuh satu juta orang yang Yahudi di Eropa karena sentimen
Rasial-Etnik. Orang Jerman yg meyakini
dirinya yg teridenfikasi sebagai ras
Arya lebih tinggi dari ras manapun termasuk orang2 Yahudi yg mguasai pusat2
ekonomi dibunuh dalam peristiwa Holocaust demi mjg kemurnian ras arya. Jadi
jangan main2 apalagi mereproduksi dg sengaja sentimen2 etnik.
orang
bisa alirkan darah, ciptakan tragedi dan krisis kemanusiaan kr alasan ras dan
etnik yang dihina. Orang2 Uighur di cina jadi saksi hidup kekejaman dan
diskriminasi kr alasan etnik. Orang2 Rohingya di Birma juga Minoritas muslim di
India mengalami represi dan dehumanisasi yg sama karena soal etnik. Kekerasan
dan konflik etnik di Indonesia juga meninggalkan sejarah buruk karena sentimen
etnik yg dikobarkan dari hal sepele. Kasus Ambon, Sampit dan Madura dan lainnya
adalah deretan kekerasan yg dipicu motif etnik.
Oleh
karena itu apapun alasannya menyeret dan menyertakan identitas etnik orang lain
dengan maksud menghina tidak bisa dierima oleh akal sehat. Saya mengerti reaksi
keuarga besar Donggo yang tersinggung, marah, dan kecewa kr ini bukan kasus
pertama. Dua kasus sebelumnya belum pulih dan dilupakan dalam memori kolektif
orang2 Donggo kok berulang. Ada apa.???
Arsitektur
antropologis Orang-orang Donggo. kini,
secara Demografik ekonomi sudah mengalami kemajuan yang tidak tertandingi. Dari
Sampungu, Sai, Sowa, Punti, Sarita, Bajo, Ndano Ndere, Doridungga, Kala,
Manggekompo, Mpili, Mbawa, Palama, Padende dan Rora. Berdiri ruko dan rumah mewah
bahkan deretan mobil berjejal di pinggir jalan. Bukti modernitas telah menjadi
cara hidup. Saya yakin yang menghina orang Donggo ini belum pernah ke Donggo
dan menyaksikan langsung deru kemajuan dan gemerlapnya peradaban baru di sana.
Orang
Donggo dikenal memiliki toleransi yang tinggi karena itu saudara sepupu dekat
kami yg minoritas kristen di Mbawa tidak pernah kami usik. Meski mereka makan babi
jangan asumsikan apalgi menyamakan dengan kami yang muslim. Kekuatan dan
keindahan juga keunikan kami justru karena mereka yang kristen. Nenek moyang
kami juga kristen tetapi itu mozaik yang memberi warna pada eksotisme pelangi
sosial kami orang-orang Donggo. Apa yang dilakukan oleh oknum ASN asal Rumas
Sakit Umum Sanoloitu bisa jadi keliru kalau menganggap kami di Donggo masih
tertinggal dan menganggap cara hidup, budaya dan tradisimu yang hebat adalah
salah. Itu sikap yang disebut etnosentrisme dalam terma, antropologi dan itu
salah alamat kalau masih dilekatkan pada kami orang-orang Donggo.
Tindakan
Anda saudariku. Saya sangat sesalkan meski itu candaan tetpi menggoreskan
banyak tanya pada benak dan hati kami yang gemar bersilaturahim. Orang Donggo
pribadi yg santun, tegas, konsisten dan memiliki daya juang tinggi. orang
Donggo memiliki rasa hormat yang tinggi pada sesama karena itu jarang terjadi
konflik antar sesama maupun dengan etnik lain. Orang Donngo punya daya adaptasi
dan kohesivitas yang tinggi secara sosial
karena itu mereka teruji tanpa konflik dalam relasinya dengan orang-orang
Dompu di kantong-kantong komunitasnya seperti di Donggo O,o, Buna, Sori Utu,
Manggelewa, Serakapi dan Kiwu Kabupaten Dompu.
Saya
berharap kejadian serupa tidak terjadi karena sikap provokatif melecehkan satu
etnis adalah penghinaan terhadap derajat dan kualitas kemanusiaan. Kebudayaan
masing-masing kita harus digunakan sebagai kompas moral dan kerangka etik dalam
pergaulan sehari-hari. Kebudayaan harus jadi cara berpikir, cara bertindak dan
menjadi pandangan hidup hidup yang saling memanusiakan. Kata dalam
statusmu, menciderai akal sehat dan
nurani universal di mana kualitas manusia ditentukan oleh isi pikiran, tindakan
dan perilakunya yang dicerahi pesan luhur kebudayaan.
Bagi
kekuarga Donggo, apapun yang sudah terjadi ambil langkah seperlunya yang
proporsional. Kita sedang diuji ketinggian adab dan kesadaran kolektif untuk
menunjukan sikap terbaik dari tradisi yang diajarkan oleh leluhur kita. (***)
Tulis Komentar Anda