“Sakitnya PDAM Bima Memasuki Level Stadium Akut”, Dewan Desak Restrukturisasi

Foto Bersama Anggota DPRD Kabupaten Bima Dengan Puluhan Karyawan PDAM Yang Mogok Kerja Karena Tak Terima Gaji Selama 26 Bulan

Visioner Berita Kabupaten Bima-Dugaan rusaknya pengelolaan managemen Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) milik Kabupaten Bima ditengarai terjadi sejak lama, dan hingga kini dinilai belum mampu diatasi. Pergantian Direksi dari yang satu ke yang lainya, hingga kini dinilai belum juga mampu membuat Perusahaan milik daerah ini berbenah diri, kecuali pada tiap tahunya Pemkab Bima melakukan penyertaan modal yang nilainya tidak sedikit.

Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Bima, Muhammad Natsir, SH menuding bahwa “sakitnya PDAM Bima sudah memasuki level stadium akut”. Oleh sebab itu, managemen PDAM Bima harus direstrukturisasi secara total. Selanjutnya, Perusahaan Daerah tersebut hanya dinakhodai oleh Profesional.

“Managemen PDAM Bima harus dinakhodai oleh Profesional. Dengan hal itu mulai, maka PDAM akan dapat dikelola secara profesional mulai dari tingkat managemen hingga ke pelayanan terhadap masyarakat sebagai konsumennya,” tegas Natsir usai menerima kehadiran puluhan karyawan PDAM yang mogok karena 26 bulan tak terima gaji di aula utama Dewan setempat beberapa hari lalu.

“Sakitnya PDAM Bima” ungkapnya, juga dipicu pergantian Direksi yang sejak dulu sampai sekarang dengan sistim penunjukan langsung, bukan dengan sistim uji kelayakan.

“Yang tak kalah parahnya, selama ini yang diangkat sebagai Direksi PDAM adalah dari Birokrasi (ASN). Dan dalam hal itu pula, diduga mereka terima gaji double. Yakni gaji dari PDAM dan gaji sebagai ASN. Hal itu jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku. Sementara yang menjadi Direksi PDAM sekarang adalah pensiunan ASN, bukan dari profesional,” ungkap Natsir.

Dugaan lain yang terjadi pada managemen PDAM Bima, juga terletak pada rekrutmen pegawainya. Berdasakan informasi yang diperolehnya, rekrutmen karyawan PDAM selama ini dan bahkan sampai sekarang diduga banyak yang berasal dari keluarga oknum Direksinya.

“Demikian informasi yang kami terima dari beberapa sumber. Untuk itu, managemen PDAM Bima harus segera dibenahi secara total mulai dari Direksinya hingga pada karyawanya,” imbuh duta PAN yang juga mantan Kades Ngali Kecamatan Belo ini.

Aksi mogok dan demonstrasi yangdilakukan oleh ratusan orang karyawan PDAM Bima lantaran tak terima gaji selama 26 bulan (sejak 2019, 2020 dan 2021), ditudingnya sebagai cerminan bahwa Perusahaan Daerah tersebut telah bangkrut. Padahal jika PDAM dikelola secara profesional, tak ada alasan bagi Perusahaan Daerah itu mengalami kebangkrutan.

“Sebenarnya tak ada alasan bagi PDAM setempat untuk bangkrut. Dan tak ada alasan pula untuk tidak membayar gaji karyawan. Sebab, pelanggaran PDAM baik di Kota Bima maupun di Kabupaten Bima tidaklah sedikit. Selama ini masyarakat tetap membayar iuran PDAM. Dengan jumlah pelanggan yang tidak sedikit itu, maka tak ada alasan bagi PDAM untuk bangkrut,” tegasnya.

Sementara penyertaan modal dari Pemkab Bima terhadap PDAM, diakuinya cukup besar. Selama ini penyertaan modal terus berjalan, dan penarikan iuran kepada masyarakat sebagai konsumenyapun lancar-lancar saja.

“Penyertaan modal selama ini jalan terus, penarikan iuran kepada masyarakat sebagai konsumenyapu lancar pula. Harusnya dengan jumlah pelanggan yang sangat banyak baik di Kota maupun di Kabupaten Bima, seharusnya PDAM sudah bisa mandiri alias tanpa harus dilakukan penyertaan modal oleh Pemerintah. Namun, fakta yang terjadi tidaklah demikian. Di tengah banyaknya jumlah pelanggan dan penyertaan modal dari Pemerintah pada tiap tahunya, namun sistim managemen Perusahaan milik Daerah ini jauh dari kata sehat,” timpal Natsir.

Namun Natsir menyadari bahwa macetnya pelayanan PDAM terhadap konsumen baik di Kota maupun di Kabupaten Bima, terjadi sejak banjir bandang tahun 2016. Bencana banjir bandang tersebut, diakuinya berdampak pada kerusakan fasilitas milik PDAM baik di Kota maupun di Kabupaten Bima.

“Dampak dari bencana banjir bandang tersebut, bukan saja berdampak kepada kerusakan sejumlah infrastruktur dan fasilitas pendukung pelayanan PDAM. Namun kondisi itu tidak berlangsung lama, tetapi fasilitas milik PDAM seperti pipa penyalur air ke masyarakat masih banyak yang belum diperbaiki. Akibatnya, tak sedikit pelanggan yang tidak membayar iuran. Pelanggan enggan membayar iuran karena alasan tidak ada air yang disuplai oleh PDAM melalui saluran pipa hingga ke kran pada masing-masing konsumennya. Dan kondisi tersebut masih terjadi sampai saat ini, namun di sejumlah wilayah di Kabupaten Bima masih berfungsi dengan baik,” tandas Natsir.

Natsir mengungkap, total gaji karyawan PDAM yang belum terbayarkan selama 26 buklan itu yakni sebesar Rp7 miliar lebih. Gaji karyawan tersebut belum dibayar karena banyak alasan. Antara lain iuran dari konsumen diakui hanya cukup untuk biaya operasional, salah satunya untuk bayar listrik di sejumlah pompa milik PDAM baik yang ada di Kota maupun Kabupaten Bima.

“Masalah gaji karyawan selama 26 bulan yang belum dibayar itu, tentu saja kami akan membicarakanya terlebih dahulu dengan pihak eksekutif. Sebab, sumber keuanganya ada di eksekutif. Masalah ini juga akan kami bicara secara serius dengan seluruh anggota DPRD Kabupaten Bima. Selanjutnya, Dewan akan memanggil pihak eksekutif (Kabag Ekonomi) dan instansi terkait, termasuk pihak PDAM. Insya Allah dalam waktu dekat akan ada rekomendasi dari Dewan terkait solusi bagi karyawan PDAM yang gajinya belum terbayarkan ini,” janji Natsir.

Terkait penyertaan modal, kunci soal regulasinya ada pada pihak PDAM. Oleh sebab itu, pihaknya akan segera berkoordinasi dengan pihak PDAM dalam upaya membahas Raperda tentang penyertaan modal. Karena mungkin dengan hal itu, pihak PDAM bisa berbenah diri dan menuntaskan gaji karyawanya yang sampai saat ini belum terbayarkan.

“Dengan belum dibayarnya gaji karyawan PDAM tersebut, tentu saja secara otomatis menghambat pelayanan kepada masyarakat sebagai konsumenya. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi Pemerintah, kecuali harus segera menuntaskanya. Sebab, PDAM merupakan Perusahaan sekaligus aset milik Daerah. Oleh karenanya, Pemerintah harus segera turun tangan untuk mengatasi berbagai fenomena yangterjadi di PDAM,” terang Natsir.

Berdasakan hasil diskusinya dengan ratusan karyawan PDAM yang mogok kerja karena tak terima gaji selam 26 bulan tersebut, Natisr menangkap sejumlah point penting tentang macetnya pelayanan PDAM kepada konsumenya (masyarakat. Antara lain karena terjadi kebocoran fasilitas di sejumlah tempat di Kabupaten Bima.

“Berbagai fasilitas milik PDAM di sejumlah wilayah di Kabupaten Bima tidak dikelola dan tak dirawat dengan baik pula. Akibatnya, masyarakat sebagai konsumen PDAM di sejumlah wilayah tersebut tidak dilayani secara maksimal. Akibatnya, para konsumenpun enggan membayar iuran,” ujar Natsir.

Sementara fenomenaterkait PDAM yang ada di Kota Bima, pihaknya tidak terlalu menyentuhnya secara spesifik. Sebab, yang terjadi di Kota Bima lebih kepada soal aset PDAM. Di Kota Bima, pipa milik PDAM yang ada di Kota Bima banyak yang mengalami kerusakan, salahsatunyadi jembatan Padolo.

“Kerusakan pipa PDAM yang terjadi di Kota Bima, juga disebabkan oleh pengalian draninase-drainase oleh Pemerintah setempat. Selain itu, juga ditemukan ada pengelolaan pipa dan meteran milik PDAM di Kota Bima yang tidak dikelola secara profesional. Salah satunya, ada meteran-meteran yang rusak dan tidak bisa dibaca. Sekali lagi, ini harus segera disikapi,” ucap Natsir.

Salah satu cara untuk memperlancar pelayanan PDAM kepada konsumenya baik yang ada di Kota maupun Kabupaten Bima, PDAM harus mengeluarkan biaya sebesar Rp500 juta untuk menggerakan pompanya. Sementara pendapatan PDAM pada tiap bulanya berdasarkan pengakuan karyawan yang mogok kerja itu hanya sebesar Rp300 juta.

“Anggaran yang mereka terima per bulanya jauh lebih kecil dari biaya yang dikeluarkanya untuk menggerakan pompa PDAM, belum lagi soal zat kimia yang dibutuhkan untuk membersihkan air membutuhkan anggaran sekitar Rp50 juta per bulanya. Nah, biaya untuk menggerakan pompa dan zat kimia untuk membersihkan air itu yang sekarang tidak ada,” jelas Natsir.

Untuk mengatasi soal penyertaan modal agar PDAM bisa berjalan sebagaimana mestinya, diakuinya mengalami benturan yang sangat serius. Yakni, Perda tentang penyertaan modal sudah kadaluarsa. Oleh karenanya, Perda penyertaan modal tersebut tidak bisa berlaku mundur.

“Perda hanya berlaku sekali dalam lima tahun. Dan setiap lima tahun sekali, Perda juga harus dilakukan perubahan. Perda kita hanya berlaku sampai dengan 2019. Artinya, tahun 2020 tidak bisa lakukan penyertaan modal karena tidak ada payung hukumnya. Sebab, satu-satunya payung hukum bagi penyertaan modal tersebut adalah Perda,” urainya.

Terkait berbagai masalah yang terjadi di PDAM, pihaknya menyatakan bahwa pihak eksekutif yang kurang sensitif dalam mengiventarisir mada Perda yang kadaluarsa, kebutuhan daerah dan yang dibutuhkan oleh Perusahaan Daerah seperti PDAM.

“Untuk mengatasi beragam peristiwa yang terjadi di PDAM termasuk gaji karyawan yang belum terbayarkan selama 26 bulan itu, sampai saat ini kami tidak menemukan adanya payung hukum (Perda) tentang penyertaan modal. Sebab, Perda tersebut sudah kadaluarsa. Namun, kemungkinan  besar Pemerintah Daerah memiliki alternatif lain untuk menuntaskan hal itu. Hanya eksekutif yang bisa menjelaskan hal itu, sementara kami hanya berada pada ranah koordinasi dan pembuatan Perda tentang penyertaan modal,” papar Natsir.

Karena Perda tersebut sudah kadaluarsa, natsir menjelaskan bahwa Raperda tentang penyertaan modal tahun 2021 sudah disulkan. “Masalah ini sudah disampaikan pada pembicaraan tingkat satu. Dan Bupati Bima sudah memberikan penjelasan terhadap Raperda penyertaan modal yang sudah diusulkan untuk tahun 2021 itu,” sebut Natsir.

Selanjutnya ada dua langkah yang dilakukan. Yakni Dewan akan menyampaikanya dalam Pemandangan Umum Fraksi, dan pembentukan Pansus Dewan. Dan Pansus itulah yang nantinya akan membahas tuntas soal PDAM ini.

“Masalah yang terjadi di PDAM sangatlah serius, dan bersifat mendesak untuk segera menghadirkan solusinya. Sebab, itu bukan saja menyangkut kebutuhan tetapi juga soal nyawanya orang. Penuntasan gaji karyawan PDAM tersebut jugasangat mendesak, dan mereka juga sudah menyampaikan aspirasinya di Kantor Bupati Bima, juga berdialog dengan Kabag Ekonomi selaku Pengawasa PerusahaanDaerah hingga menggelar aksi dan hearing di gedung Dewan ini,” katanya.

Oleh karenanya, hal tersebut dianggap cukup bagi Pemerintah Daerah untuk mengambil langkah-langkah antisipatif, persuasif dan solutif untuk menjawab sekaligus memenuhi berbagai kebutuhkan teman-teman yang adadi PDAM ini. “Sekali lagi, hal tersebut sebenarnya sudah cukup enjadi dasar bagi Pemerintah Daerah untuk menjawab berbagai fenomena yang terjadi di PDAM,” harapnya.

Tugas dan tanggungjawab Pemerintah Daerah soal PDAM ini ujarnya, bukan saja statis pada menuntaskan gaji karyawan yang belum terbayarkan selama 26 bulan itu. Namun yang paling penting, Pemerintah Daerah didesak untuk melakukan restrukturisasi seluruh managemen PDAM yang “sakitnya sudah masuk pada level stadium akut”.

“Sistim pengelolaan managemen dan pelayanan PDAM ke depan harus profesional. Pemerintah Daerah dituntut untuk segera berpikir keras soal itu. Dan sistim pengelolaan managemen dan pelayanan Perusahaan Daerah hanya bisa dilakukan oleh Profesional (Nakhodanya), bukan yang lainya. Namun jika Perusahaan Daerah tidak dikelola oleh Profesional, maka selama itu tidak akan bisa berkembang, tidak bisa mandiri walau sejuta kali Pemerintah melakukan penyertaan modal,” pungkas Natsir. (FAHRIZ, GILANG) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.