Maraknya Politik Uang dan Minimnya Pemahaman Masyarakat Soal Politik

Ketua Dewan Pimpinan Kecamatan Belo Partai Rakyat Adil Makmur.

Visioner Berita Kabupaten Bima-6 Juli 2022 mendatang, 57 Desa di Kabupaten Bima akan melakukan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Mirisnya, dalam kontestasi Pilkades tak lepas dari fenomena money politics atau politik uang.

Ketua Dewan Pimpinan Kecamatan Belo Partai Rakyat Adil Makmur (DPKc PRIMA Belo), Hamdiah Putra Panglima Soki menjelaskan, fenomena politik uang pada Pilkades serentak di 57 Desa di Kabupaten Bima merupakan turunan dari tindakan kontestasi demokrasi level atas seperti Pilpres, Pilkada dan Pileg.

Dijelaskannya, Pilkades di Indonesia ada sejak masa penjajahan, bahkan sejak masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Yang dimaksud pemilih pada waktu itu hanyalah kalangan terbatas, seperti kalangan elite Desa maupun keturunan Kepala Desa yang sebelumnya. Dalam tataran ideal, Pilkades sebenarnya membantu masyarakat Desa yakni sebagai ruang kebebasan untuk memilih pemimpin Desa. 

Menurutnya, modus atau pola politik uang dalam Pilkades meliputi tiga pola. "Pertama, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang. Kedua, serangan fajar. Ketiga, menggelontorkan uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa, yaitu bandar atau pemain judi," katanya.

Namun pada sisi lain, faktor-faktor yang mempengaruhi politik uang adalah faktor kemiskinan. Money politics menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum. 

"Yang terpenting mereka mendapatkan uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik juga penyebab politik uang. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik," sesalnya.

Lanjutnya, itu semua disebabkan karena tidak adanya pembelajaran atau pendidikan tentang politik di sekolah-sekolah, atau masyarakat sendiri yang kurang peduli terhadap politik. Ketika ada hajatan politik, seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat.

Selain itu, faktor budaya yang mendukung politik uang. Maksudnya politik uang adalah hal tidak biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat pusat maupun Desa. 

"Kasus politik uang belum mendapat perhatian lebih dalam peraturan perundang-undangan. Tidak kita temui, pengaturan urusan UU No. 6/2014 tentang Desa, padahal jika kita kembali membuka sejarah, UU Desa menjadi dasar transformasi desa yang lebih mandiri. Dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang," jelasnya.

Seharusnya UU Desa menyediakan dasar untuk mengatasi dan menuntaskan masalah tersebut. Nyatanya hal itu tidak terjadi dan politik uang terus menjamur bagai hantu yang tidak bisa disentuh, namun selalu menampakan bentuk.

Politik uang juga sudah diatur dalam Pasal 149 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sanksinya sembilan bulan penjara atau denda Rp500 juta. Jika menggunakan regulasi tentang suap, ancaman hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp15 juta.

Ini tentu tak cukup untuk menyelesaikan ”permainan” yang sudah menjamur di tengah masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12/2014 tentang Pedoman Penanganan Perkara di Lingkungan Kementerian Dalam negeri dan Pemerintah Daerah masih punya kelemahan utama dalam sistem pengawasan. Tentu hal ini harus menjadi perhatian khusus, terutama DPR, untuk meninjau UU Desa.  Faktanya selama ini, setiap menjelang pemilihan umum, semua peserta membuat kesepakatan menolak money politics yang disaksikan semua aparat penyelenggara, pengawas dan pengamanana. Tapi selalu ada yang diam-diam menghianati kesepakatan tersebut. 

"Ketika berkampanye banyak calon gembar-gembor mengajak rakyat menolak money politics, tapi diam-diam tim sukses membagi uang kepada rakyat," sesalnya. 

Maka dari itu, Kata Hamdiah, penegakan hukum terhadap tindak pidana money politics di Pilkades dapat dilakukan dengan beberapa cara. Meminjam teori sistem hukum L. M. Friedman, ada beberapa elemen yang dapat dibangun, yaitu memperkuat struktur hukum aparatur penegak hukum, sosialisasi dan penegakan substansi atau isi hukum, dan membangun budaya hukum anti korupsi kepada masyarakat pemilih dan para kandidat.

"Perlu peninjauan kembali UU Desa agar perundangan-undangan tersebut menjadi acuan yang tegas dalam menjalankan pemerintahan Desa. Hal yang perlu menjadi perhatian kita semua adalah sehebat apapun dan seberat apapun sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana politik uang, sangat tidak berarti jika tidak dilandasi kesadaran masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri. Perlu waktu yang lama untuk menghilangkan budaya politik uang di Pilkades Kabupaten Bima, tetapi bukan berarti tidak bisa, dan ini menjadi pekerjaan kita semua. Justeru pada tataran pemerintahan Desa, seharusnya pemerintah peduli agar politik uang bisa dihentikan sejak dini," harapnya.

Selain itu, pihaknya mengajak kepada seluruh lapisan masyarakat di wilayah Kabupaten Bima, agar sama-sama menciptakan Pilkades yang cerdas aman dan damai guna terwujudnya rakyat yang berdaulat adil dan makmur. (FAHRIZ)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.