“Tembe Donggo”, Renda dan Sape Masih Menjadi Idola Tiap Pawai HUT RI dan HUT Bima

“Juga Membongkar Kemiskinan Cakrawala Berfikir”

Peserta Pawai Dari Kecamatan Donggo-Kabupaten Bima (13/8/2022)

Visioner Berita Kabupaten Bima-Donggo merupakan salah satu Kecamatan yang terletak pada bagian barat di Kabupaten Bima. Donggo diakui memiliki etnis yang tersebar di berbagai penjuru negeri (Nusantara). Antara lain di Kecamatan Soromandi-Kabupaten Bima, Dompu, Sumbawa, KSB, Jakarta, Mataram-NTB dan lainya. Semula Donggo dengan Soromandi.

Namun seiring dengan perjalanan waktu, Donggo dengan Soromandi harus terpisah (memiliki Kecamatan Tersendiri). Namun Donggo dan Soromandi masih dalam bingkai Etnis Donggo. Nama Donggo di kenal di Nusantara dan bahkan dunia, bukan sekedar soal kisah nyata peristiwa tahun 1972 yang di mana saat itu sejumlah Tokoh Donggo, Almarhum H. Kako Dkk.

Tetapi di bagian paling barat di Donggo ada sebuah Desa yang disebut dengan Desa Pemersatu yakni Mbawa yan acap kali dijadikan sebagai tempat penelitian soal budaya, study banding dari sejumlah daerah lain dan bahkan berhasil menghadirkan tamu-tamu asing (Luar Negeri). Di Mbawa misalnya, ada “Uma Leme” yang terbuat dari kayu rimba dan beratapkan alang-alang serta berdindingkan papan yang terbuat dari kayu rimba pula.

Uma Leme ini berdiri sejak ratusan tahun silam. Uma Leme disebut-sebut sebagai tempat Musyawarah bagi untuk mencapai kata mufakat oleh masyarakat Donggo. Sementara di Desa Mbawa Kecamatan Donggo juga hidup rukun antar umat beragama (Islam Kristen Protestan dan Kristen Katholik). Sejak Desa Mbawa terbentuk hingga saat ini, kerukunan hidup antar umat beragama tersebut adalah nyata adanya.

Atas dasar itu, Nusantara dan bahkan Dunia menyebutkan bahwa Desa Mbawa merupakan salah satu pilot pemersatu antar umat beragama. Hal tersebut tercermin kepada sejak dulu hingga saat ini tak pernah terjadi konflik antar umar beragama di Desa Mbawa. Pengakuan itu bukan saja dari masyarakat umum. Tetapi juga dari Pemerintah, para Pakar, para Peneliti dan lainya.

Etnis Donggo dikenal dengan ketegasan, keberanian, kejujuran dan menghargai serta menghormati antar sesama. Kendati acap kali Etnis Donggo dihina oleh oknum tertentu khususnya di beranda Media Sosial (Medsos), namun kecintaan Etnis Donggo pada NKRI tak pernah luntur. Dan hinaan dimaksud, sedikitpun tak mampu mengkoyah-koyahkan prinsip dan keutuhan Etnis Donggo.

Sekedar catatan penting, masyarakat Donggo kebanyaka berstatus agraris (petani). Namun demikian, tingkat pendidikan, Attitude dan lainya yang melekat dalam diri masyarakat Donggo adalah sama dengan masyarakat-masyarakat lain di Indonesia pada umumnya.

Tak hanya itu, hingga kini diakui bahwa masyarakat Donggo tak bisa dipisahkan dengan Istana Kesultanan Bima. Sebab, di sebuah Desa yang bernama Kala-Donggo dijelaskan masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan pihak Istana Kesultanan Bima. Hal tersebut diakui bahwa di Kala ada Ncuhi yang diakui pula sangat erat kaitanya dengan pihak Istana Kesultanan Bima.

Lepas dari hal itu, Donggo diakui memiliki sebuah kekayaan yang tercipta sejak ratusan silam dan hingga kini masih biusa dipertahankan dan diletarikan. Yakni “Tembe Donggo” (sarung Donggo). “Tembe Donggo” ini, dahulu terbuat dari benang asli yang bersumber dari kapas, berwarna hitam pekat dan ditandai dengan motif bergaris biru tua.  

Proses pembuatan “Tembe Donggo” yakni dilakukan dengan cara menenun (bukan menggunakan mesin atau alat modern). Dalam sejarahnya, proses pembuatan “Tembe Donggo” diakui memerlukan ketelitian, kehati-hatian, dan bahan dasarnya bukan sekedar kapas asli. Tetapi juga dipoles dengan lilin madus asli sehingga memiliki aroma yang berbeda dengan hasil tentunan lainya di sejumlah Kecamatan di Kabupaten Bima.

Masih Donggo Punya Dalam Bungkusan "Tembe Donggo" (13/8/2022)

Masih menurut cerita para orang tua di Donggo, baik sebelum maupun sesudah ditenun maka sejumlah bahan-bahan dasar untuk membuatan “Tembe Donggo” harus dorendam terlebih dahulu dalam waktu yang lama di sungai dalam waktu yang lumayan lama. Selanjutnya bahan-bahan tersebut ditenun secara tradisional hingga menghasilkan selembar Sarung Donggo (“Tembe Donggo”).

Dulu harga perlembar “Tembe Donggo” tergolong sangat mahal. Harganya berkisar mulai dari Ratusan Ribu Rupiah hingga diatas Jutaan Rupiah perlembarnya. Dan tingkat kenyamanan menggunakan “Tembe Donggo” diakui bukan sekedar wacana belaka. Tetapi nyata adanya. Lebih jelasnya, “Tembe Donggo” dirasakan dingin jika digunakan pada musim panas. Dan terasa hangat jikan digunakan pada musim panas seperti saat ini.

Waktu terus berjalan, juga beriringan dengan perputaran roda perkembangan dan kemajuan zaman. Kegiatan tentunan tradisional seperti dahulu kala terkait “Tembe Donggo” pun seolah termakan zaman. Proses pembuatanya dan bahan dasarnya pun kini berbeda. Perubahan pembuatan “Tembe Donggo” tersebut terjadi sejak sekitar 50 puluh tahun silam. Sejak saat itu hingga kini, proses pembuatan “Tembe Donggo” dengan warna dan motif yang sama dilakukan menggunakan mesin modern. Dan bahan dasarnya berasal dari benang biasa yang dijual di sejumlah Toko di Bima. Dan harganya pun cenderung relatif murah jika dibandingkan dengan zaman dulu.

Alasanya dinilai sangatlah sederhana. Jika di zaman dulu kebun-kebun masyarakat Donggo dipenuhi dengan tanaman kapas. Namun sejak 50 tahun silam hingga kini, kebun-kebun masyarakat di Donggo sudah dipenuhi oleh tanaman jagung. Itulah yang dinilai menjadi salah satu alasan utama sehingga untuk mendapatkan “Tembe Donggo” yang dibuat di zaman dulu menjadi sangat susah saat ini.

Kendala lain yang dihadapi, antara lain minimnya pemahaan soal “identitas Donggo”, nyaris ta ditemukanya ide-gagasan soal strategi pasar, minimnya SDM dan minimnya pemahaman para Kepala Desa (Kades) dan Camat di Donggo sehingga tradisi pembuatan “Tembe Donggo” seperti dahulu kala menjadi sangat untuk dilakukan saat ini. Kendati demikian, sejak dulu hingga kini nama “Tembe Donggo” masih menjadi idola bagi Nusantara dan bahkan Dunia, walau proses pembuatan dan bahan kini “dipaksa mengikuti” arus modern.

Berbagai ketegasan dari sejumlah elemen di Donggo misalnya, “Tembe Donggo” merupakan salah satu kekayaan khasanah dan “identitasnya” Etnis Donggo. Namun, kini terobosan untuk mengembalikan nilai-nilai lama soal “Tembe Donggo” ini nyaris tak pernah terlihat di alam nyata. Padahal, Alokasi Dana Desa (ADD) yang sudah diberlakukan oleh Pemerintah bisa juga dialokasikan untuk penanaman kapas di kebun-kebun masyarakat, sehingga proses pembuatanya seperti dulu kalan tidak sulit untuk dilakukan saat ini.

Sementara daya kritik kalangan generasi muda Donggo misalnya, dinilai hanya berkutat pada aksi demo soal jagung, kekurangan pupuk dan lainya. Namun aksi demonstrasi untuk mengembalikan nilai-nilai lama soal “Tembe Donggo” ini nyaris tak terdengar di alam nyata (“hanya teriak di musim jagung, namun abai soal “Tembe Donggo”).

“Tembe Donggo” hingga kini masih menjadi Idola Nusantara dan bahkan Dunia. Salah satu khasanah kekayaan Donggo ini, ditegaskan tak boleh lenyap termakan zaman. Olehnya demikian, perlu ada terbosan nyata untuk menjaga, mempertahankan, menyelematkan dan melestarikanya. Solusinya, “kemiskinan cakrawala” berpikir Camat dan para Kades dan berbagai elemen penting di Donggo merupakan salah satu aspek yang sangat dibutuhkan (bukan sekedar diperlukan).

“Kemiskinan cakrawala befikir” tersebut juga harus muncul pada sejumlah Anggota DPRD Kabupaten Bima yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Donggo. Masih soal “Tembe Donggo”, Pemerintah juga diharapkan untuk ikut andil di dalamnya. Hal itu bisa dimulai dari Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes), Kecamatan, diklinis secara profesional oleh Bappeda Kabupaten Bima hingga mendapat persetujuan dari DPRD Kabupaten Bima melalui APBD.

“Tembe Donggo” hingga kini masih menjadi idola warna, motif dan kekhasanya. Hal itu tercermin kepada penampilan remaja-remaja Donggo di moment Pawai menyambut HUT RI dan HUT Kabupaten Bima pada tiap tahunya.

Menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022, dilaksanakan pawai budaya yang dipusatkan di Kecamatan Woha-Kabupaten Bima. Penampilan remaja-rema Donggo dalam bungkusan “Tembe Donggo” terlihat bukan saja berhasil memikat hati puluhan ribu peserta pawai. Tetapi berhasil memukau pengelihatan puluhan riubu peserta pawai dari 18 Kecamatan di Kabupaten Bima, Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri, SE serta kalan Forkopimda Kabupaten Bima (Kapolres Bima Kota, Kapolres Bima Kabupaten, Kepala Kejaksaan Negeri Bima, Ketua Pengadilan Negeri (PN) Raba-Bima, Dandim 1608/Bima, Ketua-Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bima) dan lainya.

Remaja-rema Donggo dengan penampilang menggunakan “Tembe Donggo” tersebut, tercatat sebagai peserta sebelum kegiatan pawai ditutup. Penampilan remaja-remaja Dongo tersebut, juga disambut dengan sangat meriah oleh puluhan ribu peserta pawai dan Bupati Bima serta pihak Forkopimda Kabupaten Bima.

Semetara pada moment penyambutanya, Bupati Bima Hj. Indah Dhayamayanti Putri, SE menyatakan kekagumanya, rasa bangga, apresiasi, terimakasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap penampilan remaja-remaja Donggo yang diback up oleh Camat dan para Kades di Kecamatan Donggo di acara pawai dimaksud. Tak hanya itu, Bupati Bima juga menghimnbau agar “Tembe Donggo” sebagai salah satu khasanah kekayaan Donggo ini harus tumbuh, berkembang, terjaga dan terlestarikan sampai kapanpun alias tak boleh lenyap termakan zaman.

“Tembe Renda” Sangat Memikat Karena Mitf dan Corak Warna Yang Beragam

Corak dan Warna Tenunan Renda-Kabupaten Bima (13/7/2022)
Renda adalah sebuah Desa yang terletak diu Kecamatan Belo-Kabupaten Bima. Masyarakat Renda sejak dulu hingga kini dikenal sebagai petani bawang merah yang tersebar di berbagai Kecamatan di Bima, Dompu dan bahkan di Kabupate Sumbawa. Masyarakat Renda kaya dari sisi ekonomi dan kesejahteraan karena hasil bawang merah, diakui bukan hal baru.

Tetapi stigma positif tersebut tercipta sejak lama hingga saat ini. Desa Renda juga tercatat sebagai salah satu wilayah yang mampu melahirkan para Pengusaha bawang merah yang tersebar di berbagai Penjuru Nusantara. Antara lain Makasar-Sulawesi Selatan (Sulsel), Banjarmasin, Jakarta dan lainya.

Soal peningkatan nilai ekonomi dan kesejahteraan karena hasil bawang, bukan saja terjadi di Desa Renda. Tetapi hal yang sama juga terjadi di Desa Ngali Kecamatan Belo, Kecamatan Sape, Kecamatan Lambu dan Kecamatan Soromandi-Kabupaten Bima. Dalam kaitan itu, Kabupaten Bima dikenal sebagai salah satu lumbung bawang merah di kancah Nasional misalnya, tentu saja karena kerja keras para petani di sejumlah Desa dan Kecamatan di Kabupaten Bima.

Dibalik kekayaan dari hasil bawang merah tersebut, Desa Renda juga memiliki salah satu khasanah kekayaan yang lahir sejak dulu serta masih bisa dijaga, dipertahankan, diselamatkan dan dilestarikan sampai saat ini. Yakni “Tembe Renda” (Sarung Renda). Potensi yang satu ini (“Tembe Renda”) diakui cukup dikenal di Nusantara dan bahkan disebut-sebut berhasil menembus pasar dunia.

Beragam motif dan corak warna “Tembe Renda” dan ada pula yang seperti “Salungka” (Songket) serta lainya menempatkanya sebagai Idola Nusantara dan bahkan Dunia. Tenarnya “Tembe Renda” kian menohok karena para tamu-tamu penting seperti Menteri dan pejabat penting lainya di kancah Nasional yang acap kali dikadohi dengan “Tembe Renda” ketika berkunjung di Bima.

Sementara harga “Tembe Renda” perlembarnya juga disebut relatif mahal. Hal itu karena memiliki keragaman motif dan corak warnanya. Motif dan corak warna “Tembe Renda” juga diakui terlihat cukup manis dan apik baik digunakan pada pagi hari, siang hari, sore hari dan bahkan malam hari.

Saking tenarnya “Tembe Renda” ini, juga berhasil mengisi dunia pasar khususnya di Kabupaten dan Kota Bima. Untuk mendapatkan “Tembe Renda”, tenntu saja bukan hal yang sulit. Karya nyata warga Renda tersebut “Tembe Renda” bisa diperoleh dengan cara membeli di berbagai Toko dan Home Stay di Kota dan Kabupaten Bima. Salah satunya di Mutmainnah Home Stay yang berlokasi di jalan Gajah-Mada Kota Bima.

Pertanyaan tentang siapa saja Pejabat Negara yang menggunakan “Tembe Renda” juga diakui tak sulit untuk dijawab. Mantan Presiden RI, Soesilo Bambang Yudhono (SBY) hingga Presiden RI saat ini, Ir. H. Joko Widodo (Jokowi) juga menggunakan baju yang terbuat dari bahan “Tembe Renda”. Pun demikian halnya dengan sejumlah Panglima TNI dan pejabat penting lainya di NKRI ini.

Keragaman Corak dan Warna Tenunan Renda (13/8/2022)

Baik di moment pawai menyambut RI dan Pawai Budaya di Kabupaten Bima, para peserta yang berasal dari 18 Kecamatan dan ratusan Desa di Kabupaten Bima tak pernah lepasdari bungkusan “Tembe Renda” (menggunakan pakaian tradisional dari bahan “Tembe Renda). Hal itu juga dipertontonkan oleh puluhan ribu peserta pawai menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022 yang dipusatkan di Cabang Talabiu Kecamatan-Woha-Kabupaten Bima, Sabtu (14/8/2022).

Peserta pawai menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022 tersebut, yang menggunakan bahwa dasar “Tembe Renda” mulai dari Rimpu (hijab tradisional Bima), baju, rok, celana, kopiah dan lain bukan saja oleh masyarakat umum. Tetapi hal yang sama juga digunakan oleh Seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (Satker) dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Bima. Pun demikian halnya dengan para Camat dan Kades di Kabupaten Bima.

Pada moment penyambutan di arena pawai budaya menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022 tersebut, Bupati Bima Hj. Indah Dhamayanti Putri, SE juga mengakui kehebatan dan ketenaran “Tembe Renda”. Oleh karenanya, potensi sekaligus khasanah kekayaan masyarakat Renda dalam kaitan itu ditegaskanya harus mampu dijaga, dipertahankan, dilestarikan sampai kapanpun.

Sebab hal itu diakui sebagai salah satu ciri dan identitasnya masyarakat Renda. Ketenaran dan keterkenalan “Tembe Renda”, diakuinya bukan saja di Bima dsan pada umumnya di NTB. Tetapi juga dikenal di berbagai pelosok Nusantara bahkan dunia. Oleh karenanya, karya nyata masyarakat Renda tersebut harus terus didukung oleh berbagai pihak, tak terkecuali dari Pemerintah. Dan masyarakat Desa Renda bukan saja kaya akan pengasilan bawang merahnya. Tetapi juga didukung oleh “Tembe Renda” yang menyuguhkan corak warna beragam hingga berhasil memikat hati berbagai pihak.

“Tembe Sape” Hadir di Pawai Arena Pawai dan Sungguh Mengejutkan

Peserta Pawai Asal Sape Dalam Polesan Tentunan Tradisional Sape-Kabupaten Bima (13/8/2022_

Pada moment Pawai Budaya menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022 tersebut, Media Online www.visioner.com juga sontak terkejut atas penampingan kaum wanita asal Kecamatan Sape-Kabupaten Bima. Puluhan wanita yang didalamnya ada remaja dan ibu-ibu tersebut tampil dengan menggunakan performa bahan dasar satung tentunan asli Sape.

Performa yang digunakan oleh peserta Pawai Budaya menyambut HUT RI ke-77 tahun 2022 tersebut yakni mulai dari Rimpu (hijab tradisional) Bima, baju dan lainya. Penampilan pesert Pawai asal Sape pada moment tersebut juga diakui berhasil memikat hati serta disambut secara meriah oleh puluhan ribu peserta pawai, termasuk Bupati Bima serta pihak Forkopimda di moment itu pula.

Hal tersebut mencerminkan bahwa masyarakat Sape bukan saja akan hasil pertanian, perikanan dan Destinasi Wisatanya. Tetapi, kini juga ditambah dengan “Tembe Sape”. Pada moment Pawai menyambut HUTRI tersebut, “Tembe Sape” terlihat cantik, manis dan apik. Sebab, “Tembe Sape” terlihat berwarna kuning sangat cerah dan dipoles dengan corak hitam serta dipercantik oleh garis berwarna orange.

 Corak dan warna “Tembe Sape” tersebut tersebut, bukan saja berhasil memukau dan memikat puluhan ribu peserta pawai. Tetapi juga ibu-ibu dan remaja sebagai peserta asal Sape ini terlihat kian manis dan cantik dalam bungkusan “Tembe Sape” pula. Dan diakui pula, proses pembuatan "Tembe Sape" menggunakan alat modern. Dan bahan dasarnya dijelaskan dari benang modern.

Soal pasar “Tembe Sape” ini, juga hanya bisa didapatkan dengan cara memesanya (membeli). Peserta asal Pawai asal Sape ini menjelaskan, untuk mendapatkan “Tembe Sape” bisa bisa melalui jaringan Media Sosial (Medsos) dan atau memesan langsung di sejumlah Desa di Kecamatan Sape.

Masih soal “Tembe Sape”, untuk ke depanya tentu saja membutuhkan terobosan nyata dari Pemerintah mulai dari Desa, Kecamatan hingga ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima. Hal tersebut dijelaskan untuk mewujudkan ekspektasi (harapan) agar “Tembe Sape” bisa menjadi terkenal layaknya “Tembe Renda” dan “Tembe Donggo”.

Terobsan lain, berbagai elemen masyarakat Sape juga perlu digerakan untuk berkarya dalam mempertajam potensi ini (“Tembe Sape”) terutama soal strategi pengembangan bagi pasangsa pasarnya. Pesan-pesan tersebut bukan saja disampaikan oleh peserta pawai dari Sape di moment dimaksud. Tetapi hal yang sama juga disampaikan oleh Bupati Bima pada moment pawai itu pula.

Untuk mendukung hal itu, tentu saja membutuhkan terobosan nyata dari para Kades dan Camat Sape. Dan guna mengembankan serta memajukan “Tembe Sape” di kemudian hari, dijelaskan bisa dilaksanakan dengan menggunakan ADD di seluruh Desa di Kecamatan Sape. (TIM VISIONER) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.