Catatan Kritis Tahun 2022, PKL di Lawata Gulung Tikar=Cerminan Loyonya Disparpora Kota Bima?

“Hutan Belantara” Tak Terurus, Kapal Banwa “Kusam” Karena Alasan Anggaran

Inilah Deretan PKL Yang Telah Gulung Tikar di Pantai Lawata Kota Bima.

Visioner Berita Kota Bima-H. Muhammad Lutfi, SE tercatat sebagai satu-satunya Walikota Bima yang mampu merubah pantai Lawata yang semula identik dengan “rumah hantu” menjadi salah satu destinasi wisata andalan. Dengan terobosannya yang spektakuler, Lutfi mampu menyulap berbagai persoalan penting di Lawata yang berdampak positif kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari angka pada pemerintahan sebeumnya sebesar puluhan juta rupiah per tahunnya menjadi ratusan juta rupiah per tahunnya.

Sumber PAD di Lawata sejak Lutfi memajukannya yakni karcis masuk, para Pedagan Kaki Lima (PKL) yang berjejer, sewa banana boath, retribusi dari Kafe Fix La Luna, kolam renang dan lainnya. Soal PAD, dijelaskan bahwa hingga hari ini Lawata masih mampu mempertahankan angka ratusan juta per tahunnya kendati peristiwa Covid-19 yang menggerogoti soal ekonomi masyarakat Kota Bima hingga kini belum juga usai.

Tekad Lutfi yang memajukan destinasi wisata mungil andalan bernama Lawata itu, tentu saja belum berakhir sampai di situ. Kini Lutfi melalui Dinas Pariwisata dan Olah Raga (Disparpora) setempat telah menuntaskan pembangunan food coat yang berlokasi di atas bukit Lawata. Namun sebelumnya, Lutfi juga telah menghadirkan kapal Banawa 117 yang semula terpakir di pelabuhan Bima ke Lawata.

Tujuanya salah satunya adalah untuk peningkatan PAD Kota Bima pada tiap tahunnya, hal itu sudah diberlakukan dan bahkan masih berlangsung sampai dengan saat ini. Sementara soal jet sky yang sebelumnya diniatkan untuk beroperasi bagi peningkatan PAD, namun kini tak terdengar lagi kabarnya.

Dibalik niat dan terjemahan baik Lutfi untuk memajukan Lawata, namun di penghujung tahun 2022 (31/12/2022) Media Online www.visionerbima.com masih menemukan fakta-fakta tak terbantahkan di pantai Laawata. Fakta-fakta “terburuk” yang dinilai sebagai cerminan “loyonya” kinerja Disparpora Kota Bima tersebut, antara lain soal hampir semua PKL di Lawata telah gulung tikar, semak-semak yang menyerupai hutan belantara yang hingga kini masih tak terurus, kapal Banawa 117 yang warnanya kian kusam saja hingga Kafe Fix La Luna yang sebelumnya maju dan berkembang namun kini “banyak ditinggal” oleh consumennya karena diduga dipicu oleh pelayanan yang serba ribet.

Hasil investigasi real dari Media ini terkuak sejumlah pengakuan. Antara lain dominan PKL telah Pulang Kampung (Pulkam) alias bangkrut karena pendapatan perharinya yang diakui jauh dari keuntungan (modalpun terkuras). Mereka (PKL) minggat dari Lawata, salah satunya karena tak mampu mengubah kelatahan. Misalnya, jika warung yang satu jual kopi dan mie goreng maka menu yang yang disiapkan oleh yang lainnya juga sama.

Soal PKL di Lawata yang masih tersisa hanya tersisa 0 sekian persen. Dan PKL yang tersisa itu terlihat sebagai wajah-wajah baru yang menggantikan orang-orang lama. Sebelumnya di Lawata ada PKL menyiapkan menu makanan khas Bima (ikan bakar dan sambal asli Bima), namun kini sudah tak lagi terlihat. Begitu pula dengan PKL yang sebelumnya menjual es kelapa muda.

“Kaburnya” hampir semua PKL di Lawata dinilai bukan saja soal “loyonya" kinerja Disparpora setempat. Namun Dinas terkait yakni Diskoperindag setempat yang dibeberkan jauh dari soal edukasi terhadap para PKL yang telah meninggalkan Lawata itu. Kapal Banawa 117 yang semula dianggap lumayan digunakan oleh wisatawan lokal misalnya, kini terlihat “tertidur pulas” di pinggir pantai Lawata.

Warnanya kapal Banawa 117 yang semula terlihat cantik, namun kini terpantau telah kusam-kusam saja. Niat pengelolanya untuk menampilkan estetik Kapal Banawa sebagai salah satu yang dapat menarik perhatian wisatawan justeru diinformasikan terbentur oleh soal anggaran. Maksudnya, tak ada anggaran bagi perbaikan kapal Banawa yang dipersiapkan sejak tahun 2022 maupun di tahun 2023 ini.

Sementara semak belukar yang menyerupai “hutan belantara” di Lawata itu, sesungguhnya bukan hal baru. Namun pemandangan yang jauh dari nilai estetika tersebut, hingga kini terlihat masih terpelihara saja. Bukit-bukit Lawata yang sebelumnya aktif dijadikan sebagai tempat pengunjung untuk berfoto-foto dan lainnya, namun kini tak lagi terlihat karena hal tersebut telah diselimuti oleh semak-semak yang menyerupai “hutan belantara” dimaksud.

Sementara satu unit jet sky yang sebelumnya (2022) sering digunakan oleh pihak pengunjung dengan tarif yang lumaya mahal, kini diduga tak terlihat lagi. Konon sebuah alat transportasi laut harganya tergolong mahal tersebut diduga mengalami kerusakan pada bagian tertentu. Dan hingga kini diduga belum diperbaiki pula. Indikasi itu ditemukan melalui bahwa saat ini jet sky tersebut tak lagi terlihat beroperasi di pantai Lawata.

Pelayanan kafe Fix La Luna yang dinilai cenderung lamban hingga diduga telah ditinggalkan oleh consumennya tersebut, diduga bukan hal baru. Tetapi soal yang satu ini ditengarai terjadi sejak lama. Akibatnya, Fix La Luna kian hari kian sepi saja. Konon, hal tersebut juga disinyalir dipecut oleh pecah kongsi di kubu Fix La Luna itu sendiri.

Bahkan setahun silam, terkuak bahwa top manager Fix La Luna yakni Fadlin sudah meninggalkan tempat itu. Dan sejak saat itu hingga kini, Fix La Luna dipimpin oleh orang lain. Namun bagi Pemkot Bima misalnya, untuk menendang keluar Fix la Luna dari pantai Lawata bukanlah hal mudah. Sebab, masa kontrak antara Pemkot Bima dengan Fix La Luna berlangsung selama 10 tahun.

Pemandangan kurang menarik lainya yang terjadi di Pantai Lawata juga soal air bersih yang diduga hingga kini tak lancar. Setiap pengunjung juga pernah mengeluhkan kesulitan air bersih pada WC umum di Musholah setempat dan air yang digunakan untuk berwudhu pun dinilai hingga saat ini masih tak lancar saja.

Oleh sebab itu, para pengunjung Lawata sangat berharap agar seabrek kekurangan tersebut bisa diatasi secara segera oleh pihak Pemkot Bima melalui sejumlah instansi terkait (Disparpora, Diskoperndag dan Dinas PUPR setempat). Kekurangan-kekurangan yang dialami oleh pantai Lawata tersebut, dinilai menggambarkan bahwa mimpi besar Lutfi yang dianggap tak singkron dengan kinerja Dinas terkait terutama Disparpora Kota Bima sebagai pengendali utamanya.

Sebab, untuk memajukan pembangunan fisik terutama soal Lawata bukan sekedar banyak gaya. Tetapi yang dibutuhkan adalah realistisnya antara gaya dengan kerja nyata. Namun jika Dinas terkait masih saja loyo hingga tahun 2022 ini, maka di tahun selanjutnya pantai Lawata justeru akan semakin jauh dari nilai-nilai estetika. Pun yang menjadi salah satu dugaan kelemahan esensial yang terjadi di Lawata juga diduga kuat bersumber dari loyonya pihak Bappeda setempat soal perencanaan.

Sementara pertanyaan seperti apa terobosan alias langkah solutif yang ditawarkan oleh Instansi terkait soal kelemahan-kelamahan tersebut, hingga kini belum juga terjawab. Namun berdasarkan data dan informasi terkini yang diperoleh Media ini mengungkap, pihak Pemkot Bima telah menyiapkan anggaran lebih dari satu miliar rupiah di tahun 2023 untuk membenahi Lawata secara total. Anggaran tersebut, juga diifomrasikan akan digunakan untuk pemanfaatan ruang laut di sepanjang pantai Lawata.

Liputan langsung Media ini melaporkan, kendati kekurangan tersebut “masih menampar” patai Lawata namun sampai saat ini tak menyusutkan kunjungan wisatawan lokal baik di Kota Bima, Kabupaten Bima dan bahkan dari Kabupaten Dompu. Mereka hadir di Lawata dinilai karena di sana merupakan destinasi wisata alternatif yang lokasinya tak jauh dari pusat Kota Bima.

Sementara untuk kebutuhan akomodasi bagi wisatawan tersebut, terkuak bahwa mereka lebih membawa makanan-minuman sendiri. Hal tersebut dipicu oleh kebanyakan kebutuhan para wisatawan tersebut yang terkesan tak tersedia di Lawata. Selain itu, hingga kini Pemkot Bima belum menyiapkan aturan (regulasi) pelarangan bagi para wisatawan untuk hal itu. Apa kabar destinasi wisata kuliner di pantai Kolo?. (TIM VISIONER) 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.