“Dari Kampus ke Dapur?”

Oleh: IMMawati Anis Nur Istiqomah

(Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah  Bima)

Sering kali terdengar sebuah pernyataan yang meremehkan pencapaian perempuan, yaitu “untuk apa perempuan berpendidikan tinggi, toh ujung-ujungnya hanya akan berakhir di dapur.” Pandangan semacam ini merefleksikan cara pikir patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat. Secara kritis, pandangan ini bermasalah karena mengandung bias, mereduksi makna pendidikan, dan membatasi ruang gerak perempuan.

Pertama, pernyataan tersebut menyempitkan makna pendidikan. Pendidikan tidak semata-mata bertujuan agar seseorang dapat bekerja atau menduduki jabatan publik, tetapi juga membentuk manusia yang kritis, mandiri, dan berdaya dalam mengambil keputusan. Menganggap pendidikan perempuan sia-sia hanya karena mereka berperan di ranah domestik merupakan pandangan keliru dan diskriminatif.

Kedua, pandangan ini bias dalam menilai peran domestik. Rumah tangga sering direduksi sebagai ruang yang rendah nilainya, padahal mengurus rumah tangga, mendidik anak, dan menjaga kesejahteraan keluarga membutuhkan ilmu, wawasan, dan keterampilan yang mumpuni. Di sinilah pentingnya pendidikan tinggi bagi perempuan bukan untuk menyaingi laki-laki, melainkan agar mereka mampu mengelola rumah tangga dengan lebih baik, mendidik anak secara cerdas, serta berkontribusi pada kualitas keluarga dan masyarakat.

Ketiga, pernyataan tersebut juga menunjukkan ketidakadilan. Ketika perempuan tidak berpendidikan, mereka sering dianggap lemah dan tidak berdaya. Namun, ketika mereka berpendidikan tinggi, pencapaiannya tetap diremehkan dengan alasan “akan kembali ke dapur.” Hal ini memperlihatkan bagaimana perempuan kerap ditempatkan dalam posisi yang salah apa pun pilihannya, sehingga ruang gerak mereka semakin terbatas.

Keempat, penting ditegaskan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah upaya untuk menandingi laki-laki, melainkan untuk memperkuat kapasitas diri. Baik di ranah publik maupun domestik, ilmu pengetahuan tetap menjadi bekal utama. Seorang ibu berpendidikan tinggi, misalnya, memiliki kemampuan lebih untuk mendampingi perkembangan anak, memberikan pola asuh yang sehat, serta menciptakan lingkungan keluarga yang berdaya.

Dengan demikian, pandangan “perempuan berpendidikan tinggi ujung-ujungnya di dapur” perlu ditinggalkan. Masyarakat harus mulai membangun kesadaran bahwa pendidikan perempuan adalah investasi penting, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga, masyarakat, dan bangsa. Selain itu, redefinisi peran domestik perlu ditegaskan dapur dan rumah tangga bukanlah ruang akhir bagi perempuan, melainkan ruang bersama yang dapat dijalankan secara setara oleh laki-laki maupun perempuan. ***

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.