Pernikahan Dini di NTB=Bukti Lemahnya Pengawasan Pemerintah Daerah Dalam Menangani Krisis Yang Mendesak
Oleh Muthiya Nurhaqul Iman (Alumni Mahasiswa Fakultas Hukum/ Sekjen BEM FH Unram 2023)
Pernikahan dini masih menjadi persoalan
serius di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Meski pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 sebagai perubahan atas UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, praktik pernikahan anak di bawah umur tetap
marak terjadi. UU tersebut memang telah menaikkan batas usia minimal menikah
menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki, namun secara substansi masih
belum cukup kuat untuk menghentikan praktik pernikahan dini, khususnya di
daerah dengan pengaruh adat istiadat yang kuat seperti NTB.
Data terbaru menunjukkan bahwa kasus perkawinan anak di NTB belum menunjukkan penurunan signifikan. Berdasarkan data dari Pengadilan Agama per Mei 2025, tercatat 143 kasus perkawinan anak di NTB, dengan angka tertinggi berasal dari Kabupaten Bima sebanyak 81 kasus. Kabupaten lain yang turut menyumbang angka tinggi adalah Sumbawa (23 kasus) dan Dompu (19 kasus). Bahkan pada tahun 2024, angka perkawinan anak mencapai 581 kasus, di mana Bima juga menjadi penyumbang terbanyak dengan 299 kasus.
Walaupun regulasi sebenarnya sudah ada, mulai dari Peraturan Daerah hingga Peraturan Desa (Perdes) terkait pencegahan pernikahan anak. Namun, tantangan utama adalah implementasi di lapangan, terutama karena masih kuatnya pengaruh adat dan budaya yang menganggap menikahkan anak sebagai hal wajar.
Selain itu, UU No. 16 Tahun 2019 masih membuka celah hukum melalui dispensasi kawin. Hal ini memungkinkan anak tetap menikah meskipun belum memenuhi batas usia minimal, hanya dengan izin dari pengadilan. Ketentuan ini kerap disalahgunakan atau dianggap sebagai jalan pintas oleh keluarga dan masyarakat.
Urgensi dari persoalan ini tidak bisa diabaikan. Pernikahan dini berkontribusi langsung terhadap tingginya angka stunting, kematian ibu dan bayi, serta putus sekolah. yang berarti mereka belum siap secara fisik, mental, dan ekonomi untuk membina rumah tangga. Ini juga berdampak pada kemiskinan antar-generasi, tingginya angka perceraian, dan ketergantungan sosial.
Sudah saatnya pemerintah tidak hanya mengandalkan revisi batas usia dalam UU, tetapi juga membuat kebijakan yang lebih menyentuh akar persoalan sosial budaya. Peran pemerintah sangat penting dalam melakukan kontrol dan evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes) di tiap wilayah. Faktanya, masih banyak desa yang bahkan belum memiliki Perdes tentang pencegahan pernikahan anak. Ini adalah celah besar yang harus segera ditutup.
Tak hanya itu, penanganan pernikahan dini juga harus melibatkan semua elemen—pemerintah, stakeholder, lembaga perlindungan anak, tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat luas. Sasaran kebijakan tidak boleh hanya terfokus pada anak-anak, tetapi juga harus menyasar para orang tua dan masyarakat umum agar pola pikir terhadap pernikahan anak bisa berubah.
Sebagai langkah konkret, program parenting atau pendidikan keluarga di sekolah-sekolah perlu diwajibkan setiap tahun. Kegiatan ini bisa menjadi media edukasi bagi orang tua mengenai pentingnya kesehatan reproduksi, kesiapan mental anak, serta dampak sosial dan ekonomi dari pernikahan dini. Pemerintah Provinsi NTB perlu menjadikan program ini sebagai bagian dari agenda wajib tahunan demi mewujudkan generasi yang lebih terlindungi dan berdaya. Jika semua pihak berperan aktif dan kebijakan ditegakkan secara menyeluruh, maka mimpi untuk menekan angka pernikahan anak di NTB bukanlah hal yang mustahil.***
Tulis Komentar Anda