KEBEBASAN VERSUS PEMBATASAN
Oleh : Mulyadin,
SH., M.H (Advokat PERADI dan Dosen pada STIE Bima)
Mengkritisi
kebijakan pemerintah tidak dilarang dalam praktek ketatanegaraan modern. Ruang
dan waktu telah terbuka lebar untuk menyampaikan pendapat, namun setiap orang
memiliki Hak Asasi yang harus dihormati.
Oleh
karena itu, hukum berada di antara keduanya untuk memberikan perlindungan
terhadap pelanggaran harkat, martabat dan keamanan fisik maupun psikis tiap
indivudu.
Betapapun
Kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sudah dijamin dalam UU Nomor 9
Tahun 1998, namun setiap orang harus memperhatikan keamanan, ketentraman,
menghormati harkat dan martabat dari subyek hukum lainnya.
Pasal
28 E ayat (3) UUD RI 1945, "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Setiap
individu memiliki hak untuk berpendapat, namun tidak semua orang bisa secara
bebas menggunakan hak tersebut. Maka keseimbangan dalam bertindak harus dipahami
dan diimplementasikan oleh individu-individu yang beradab sebagaimana bunyi
pasal 28 J ayat (1) "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia
lainnya dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara kodrati
manusia memiliki hak asasi nya masing-masing.
Pada
Ayat 2 " Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis".
Penyampaian
pendapat yang melampaui batas kepatutan bisa berdampak hukum bagi pelakunya.
Kehormatan seorang pemimpin juga merupakan kehormatan masyarakat yang
dipimpinnya, lebih khusus para pemilih yg telah memberikan legitimasi penuh
kepadanya.
Jika
kehormatan seorang pemimpin telah tercederai oleh tuduhan tidak berdasar dan
menyebabkan tercemar nama baik serta penghinaan atas dirinya, maka masyarakat
pun akan terluka nuraninya. Pemimpin adalah milik rakyatnya, demikian pula
sebaliknya.
Manakala
kebebasan tersebut melampaui batas ketentuan Peraturan Perundang-undangan, maka
hukum pidana formil akan hadir untuk melindungi dan mempertahankan hukum
materil, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal
310, 311 serta Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 pasal 27 ayat (3) telah rubah
dengan UU. Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal
45.
Pemimpin
yang telah mendapat mandat secara mayoritas melalui proses demokrasi merupakan
Pemimpin dari seluruh rakyatnya, sehingga tidak ada lagi friksi dan dikotomi
antara pemilih dan yang tidak memilihnya.
Kontestasi dan rivalitas
telah berlalu.
Satu
kejahatan dibiarkan maka akan memiliki probability terulangi pada waktu dan
kesempatan yang lain. Kritik atau mengkritisi kebijakan adalah proses
mengoreksi, memberi saran dan pendapat terhadap suatu persoalan yang terjadi
sehingga ditemukan solusi untuk memperbaikinya. Namun jika kritikan tersebut
telah menyerang pribadi seseorang, maka hak korbanlah untuk menjaga harkat dan
martabatnya dengan mengambil langkah hukum dalam rangka 'law
enforcement'.
Kritik
yang cerdas dan bermutu adalah kritik yang berbasis pada data dan dapat
dipertanggung jawabkan secara hukum.Supremasi hukum dipertahankan semata-mata
untuk menjaga ketertiban, memberi rasa aman dan perlindungan terhadap seluruh
warga masyarakat.
Kritik
dan menghina (fitnah) memiliki domain yang berbeda, yang tentunya tidak bisa
disamakan dan dicampuradukan dalam satu wadah dengan mengatasnamakan rakyat.
Hal tersebut merupakan kesesatan paralogis yang disebabkan oleh konstruksi
berpikirnya yang keliru.
Lalu di mana ruang
kebebasan manusia, ruang kebebasan manusia berada di atas landasan norma
dan nilai yang telah tumbuh dalam masyarakat. Kebebasan bukan tanpa batas,
kebebasan bukan instrumen untuk mengadili. Kebebasan berpendapat adalah ruang
untuk memberitahu, mana yang baik dan mana yang belum baik.
Tulis Komentar Anda