Masyarakat Bergerak, Pemerintah Mendukung
![]() |
Abdurrahman - Christin Eka Wedhayanti - Wirawan - Mursidin. |
Visioner Berita
Mataram NTB-Berbagai
elemen masyarakat menggalang gerakan dan aksi untuk memerangi narkoba. Mereka
berasal dari beragam latar belakang. Dari para mantan pengguna, hingga
organisasi keagamaan. Pemerintah diharapkan memberikan bantuan untuk
memaksimalkan gerakan mereka.
Sekwil
Gerakan Nasional Anti Narkoba (Gannas Annar) Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB,
Abdurrahman, menerangkan bahwa salah satu pendekatan yang bisa dilakukan untuk
memutus rantai peredaran narkoba adalah dengan khotbah-khotbah keagamaan. Hal
tersebut juga sesuai dengan yang telah diarahkan oleh Sekda NTB, Drs. H. L.
Gita Ariadi, M.Si.
Diterangkan
Abdurrahman, hal tersebut diharapkan dapat menjadi tindakan preventif dalam
pencegahan peredaran narkoba di NTB. “Terakhir kami membentuk pengurus cabang
(Gannas Annar) di 10 kabupaten/kota, yang mana pengurusnya lebih dari 20-40
orang,” ujarnya.
Masing-masing
anggota tersebut juga berperan dalam mendakwahkan bahaya narkoba. Mengingat
Gannas Annar NTB bernaung di bawah MUI NTB, maka pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan dakwah bil-kalam atau melalui tulisan berupa imbauan dan
bil-hal atau berupa pemberdayaan.
Pada
prosesnya, Gannas Annar tidak hanya membidik anak-anak atau remaja, melainkan
orang tua juga. “Karena peredaran tidak terlepas dari umur dan banyak profesi,”
ujarnya. Aktivitas khotbah sendiri akan dimulai pada bulan Februari, dengan
perkembangan yang akan dilaporkan langsung ke pemerintah daerah.
Bantuan dari APBD
NTB
Upaya
pemutusan rantai peredaran narkoba juga dilakukan oleh Aksi NTB yang aktif
menaungi korban narkoba di NTB. Khususnya untuk pemenuhan hak asasi yang
dimiliki oleh orang-orang yang terjerat narkoba dan memiliki keinginan untuk
pulih dari jeratan narkoba.
Konselor
Adiksi Aksi NTB, Christin Eka Wedhayanti, menerangkan bahwa rehabilitasi sosial
yang diberikan oleh pihaknya dengan bantuan kementerian sampai saat ini
bersifat terbatas. Terutama untuk rehabilitasi gratis bagi orang-orang yang
memiliki keinginan untuk pulih dari adiksi narkoba.
“Kami
berharap ada bantuan dari APBD untuk membantu kami,” ujarnya. Dalam penanganan
rehabilitasi, Christin mengaku pihaknya kerap memberlakukan rawat jalan
ketimbang rawat inap untuk menyiasati kuota penanganan yang terbatas. Walaupun
begitu, hasil rehabilitasi diakui menjadi kurang maksimal.
Beberapa
opsi lain seperti merujuk pasien menjalani rehabilitasi ke luar daerah juga
disebut Christin tidak memungkinkan. Mengingat sebagian besar pasien berasal
dari keluarga dengan ekonomi di bawah garis kemiskinan. ‘’Minimnya fasilitas
dari kementerian membuat kami sulit untuk bergerak lebih,’’ ujarnya.
Pemprov
NTB telah menjanjikan bantuan kepada Aksi NTB. Salah satunya melalui Kepala
Bakesbangpoldagri NTB, H.Mohammad Rum, yang meminta agar Aksi NTB menyerahkan
proposal permohonan bantuan untuk diteruskan kepada Gubernur dan Wakil Gubernur
NTB.
Diterangkan
Christin, darurat narkoba di NTB memang memerlukan komponen pembiayaan yang
tidak sedikit. Mengingat penanganan yang dilakukan tidak hanya untuk orang
dewasa. Melainkan beberapa pasien anak yang juga terjerat dengan bahaya narkoba
dan menjadi adiktif. “Itu paling kronis (penanganan kasus) anak-anak. Karena
itu kita butuh kerjasama dengan pemerintah,” pungkasnya.
Penanganan Pasca
Rehab
Ketua
Lentera NTB, Wirawan menegaskan, penanganan korban penyalahgunaan narkoba tidak
cukup hanya menjalankan rehabilitasi di rumah sakit saja. Yang penting adalah,
penanganan pascarehab.
Pemerintah,
menurutnya, harus melakukan pendampingan seumur hidup. NTB disebut sebagai
darurat narkoba, disinyalir karena Kementerian Sosial atau Departemen Sosial
tidak melakukan pendampingan pascarehab. “Misalnya, di RSJ hari itu satu orang
direhab. Setelah keluar lagi dia relaps (kambuh),” kata Wirawan.
Dia
mengaku, menangani korban penyalahgunaan narkoba sangat berat. Bertahun-tahun,
ia bergaul dengan para pecandu narkoba. Bahkan, menikahkan anak sesama pengguna
barang haram tersebut. Faktanya, mereka sulit keluar dari lingkaran itu. Para
pengguna ini perlu pendampingan dari pekerja sosial. Rata-rata para pengguna
ini membutuhkan kemandirian hidup. “Yang diinginkan mereka memiliki usaha.
Program ini ada di Kemensos,” ujarnya.
Keengganan
rumah sakit jiwa memberikan data ke Kemensos dinilai menghambat penyelesaian
atau rehab korban penyalahgunaan narkoba. Tantangan berat menurut Wirawan
adalah, persepsi keluarga menyangkut biaya pengobatan penyembuhan pecandu
narkoba yang justru lebih mahal ketimbang harga sabu.
Pergeseran
pola pikir, menurutnya mempengaruhi sikap keluarga. Oleh karena itu, ia
mengharapkan persamaan persepsi. Tidak saja dari sisi sosialisasi dan
rehabilitasi. Pemerintah juga perlu memikirkan penanganan pascarehab. Kemensos
perlu menyediakan sandang pangan dan perumahan bagi pencandu. Sebab, mereka
merupakan korban.
Awig-awig Cegah
Narkoba
Ketua
GPAN Taman Ayu, Lombok Barat, Mursidin
menceritakan pengalamannya terpapar narkoba. Ia mulai terpapar narkoba sejak
kuliah. Dia aktif mengkonsumsi barang haram tersebut selama tujuh tahun. Di
tahun 2017 lalu, ia mengikuti rehabilitasi di BNNP NTB dan dikirim ke Bogor.
Mursidin
sadar ternyata bahwa di lingkungan merupakan salah satu zona merah
penyalahgunaan narkoba. Kondisi ini membuatnya khawatir atas nasib generasi
muda lainnya. “Saya sadar. Karena memang saya pelakunya,” kata dia.
Kegelisahan
ini membuatnya berpikir untuk membuat gerakan pemberantasan narkoba. Gerakan
ini mengedukasi teman-teman pecandu untuk lepas dari ketergantungan narkoba.
Proses penyadaran ini tidak mudah. Berjalan setahun banyak tantangan ditemukan.
Pihaknya tetap kuat dengan pemulihan walaupun stigma di masyarakat mengatakan
pengguna narkoba tidak akan bisa sembuh.
Mursidin
bersama rekan-rekannya membuat program Desa Bersinar. Program ini menjadi motor
penggerak di masyarakat. Penguatan mulai dilakukan hingga membentuk awig-awig
bagi penyalahgunaan narkoba. Peraturan Desa disusun dengan melibatkan tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparat kepolisian serta kepala desa.
Sanksi
yang diatur di awig-awig itu cukup tegas. Warga terkena narkoba dikeluarkan
dari lingkungan selama tiga tahun. Kepala dusun tidak akan mengurus hak
administrasi. Jam kunjungan dibatasi. Bahkan, anak-anak yang mau sekolah harus
dibuatkan surat keterangan bebas narkoba. Paling ekstremnya adalah, calon
pengantin diwajibkan membuat surat bebas narkoba sebagai persyaratan menikah. “Langkah
ini cukup efektif untuk pemberantasan narkoba,” ujarnya.
Pendekatan
seperti itu sambungnya, diapresiasi oleh Bupati Lombok Barat, H. Fauzan Khalid.
Bahkan, GPAN akan diberikan hibah tanah seluas 1 hektar sebagai tempat
pembinaan.(TIM VISIONER)
Tulis Komentar Anda