KEPMA Bima Soroti Kerusakan Hutan di Bima: Bagaimana Peran Pemerintah ?
![]() |
| Pengurus KEPMA Bima Yogyakarta saat berpose bersama dengan akademisi, pengamat sosial politik, peneliti, dan praktisi hukum |
Visioner Berita Bima-Dimoment pelantikan dan dialog publik, Keluarga Pelajar Mahasiswa (KEPMA) Bima wilayah Yogyakarta menyoroti kerusakan hutan di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memicu banjir bandang, kekeringan, hingga menurunkan kualitas hidup masyarakat pada, Minggu (14/12/2025).
Kegiatan itu digelar di Gedung DPD RI DIY, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tema “Antara Menyelamatkan Hutan dan Menghidupi Keluarga: Dilematis Ekologi dan Sosial di Kabupaten Bima. Bagaimana Peran Pemerintah?”.
Dalam kegiatan tersebut, KEPMA Bima menghadirkan akademisi, pengamat sosial politik, peneliti, dan praktisi hukum.
Ketua umum KEPMA Bima, Rian Fahrijin dalam keterangannya menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Bima bukan fenomena baru, dalam beberapa dekade terakhir, citra satelit dan laporan lembaga lingkungan menunjukkan percepatan deforestasi yang mengkhawatirkan.
"Bukit-bukit gundul, kini menjadi pemandangan umum, memicu banjir bandang, kekeringan, hingga menurunkan kualitas hidup masyarakat," ujar Rian sapaan akrabnya.
Menurutnya, sebagian besar deforestasi dilakukan bukan oleh pelaku industri besar, melainkan oleh masyarakat miskin yang terdesak kebutuhan ekonomi dan tidak memiliki alternatif mata pencaharian selain membuka ladang baru.
Mahasiswa Kampus Universitas Widya Mataram Yogyakarta, Jurusan Manajemen kelahiran Donggo itu, juga menjelaskan bahwa dialog publik tersebut berangkat dari realitas bahwa masyarakat menjadi pihak yang paling sering disalahkan.
"Sementara akar struktural masalah, seperti ketimpangan agraria, absennya kebijakan tata ruang yang berpihak pada rakyat kecil, lemahnya pengawasan, serta minimnya program ekonomi alternatif, kerap luput dari sorotan," imbuhnya.
Degradasi lingkungan, sambung dia, tidak dapat dipisahkan dari ketidakadilan sosial yang dialami petani kecil dan penggarap lahan.
Kelola Hutan Merusak Ekologis, Tetapi Jalan Bertahan Hidup
Dalam kegiatan diskusi kedaerahan tersebut, para pembicara menyoroti minimnya peran negara dalam memberikan kepastian hak kelola, solusi ekonomi berkelanjutan, serta pendidikan ekologis yang memadai.
Padahal, pemerintah memiliki mandat untuk memastikan keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan warga. Ketika aparatur tidak hadir dengan perencanaan yang jelas, masyarakat terpaksa mengambil keputusan yang secara ekologis merugikan, namun secara sosial mereka anggap sebagai jalan bertahan hidup.
Pengamat sosial politik, Andi Fardian, M.A, dalam keterangannya memaparkan bahwa kerusakan hutan tidak bisa dilihat sebagai persoalan perilaku individu semata. Ia menilai lemahnya peran Pemerintah Daerah dalam menyediakan lapangan kerja, akses ekonomi, dan kebijakan tata ruang yang adil.
"Masyarakat yang membuka lahan dianggap bukan aktor utama perusakan, melainkan korban dari ketidakadilan struktural dan absennya negara dalam memastikan mata pencaharian yang layak," urainya.
Secara terpisah, Peneliti ekologis, Muhamad Saleh, H.H juga memaparkan data serta tren degradasi lingkungan di Bima.
"Ekosistem hutan di wilayah ini berada pada titik kritis, degradasi bukit secara masif mempercepat erosi, mempengaruhi ketersediaan air, dan mengubah iklim mikro Desa-desa sekitar," terangnya.
Ia menekankan bahwa tanpa intervensi cepat berupa restorasi hutan, program agroforestry, dan penguatan perhutanan sosial, Bima berpotensi menghadapi krisis ekologis yang semakin dalam.
Sementara Praktisi hukum, Farid Iskandar, M.H mengkritik lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan berskala besar.
Menurut dia, aparat hukum justru lebih sering menyasar masyarakat kecil, sementara aktor bermodal kuat yang bermain dalam penguasaan lahan ilegal sering luput dari jerat hukum.
"Pemerintah harus membangun sistem hukum yang transparan, mengedepankan keadilan ekologis, dan memastikan aturan tata ruang serta perlindungan hutan diterapkan tanpa tebang pilih," tegasnya.
![]() |
| The moment yang sakral, pelantikan pengurus KEPMA periode tahun 2026-2027 |
Dialog publik yang diselenggarakan oleh peguyuban Bima di Yogyakarta ini diharapkan menjadi momentum bagi Pemerintah Daerah untuk tidak lagi menempatkan masyarakat sebagai objek yang disalahkan, melainkan sebagai subjek utama dalam penyelamatan ekologi.
Menurut Fikram, Wakil Ketua Umum KEPMA, bahwa keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan keluarga bukanlah pilihan yang saling meniadakan, tetapi keduanya dapat dicapai ketika negara hadir dengan kebijakan yang adil, visioner, dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
"Pemerintah Kabupaten Bima harus bergerak cepat dalam memperkuat kebijakan restorasi hutan, menghadirkan program penghidupan yang berkelanjutan, dan membangun mekanisme dialog berkelanjutan dengan warga Desa sebagai mitra, bukan sekadar sasaran intervensi," tutur Fikram.
Dalam menangani kerusakan hutan di Bima, kata Fikram, diperlukan strategi yang berpihak, seperti program agroforestry dan perhutanan sosial yang benar-benar menyentuh dengan masyarakat Desa.
"Penguatan pendampingan ekonomi agar petani tidak menjadikan tebangladang sebagai satu-satunya pilihan," sambungnya.
Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta berdarah Wadukopan itu, berharap adanya perbaikan tata kelola kehutanan, termasuk penegakan hukum yang adil terhadap pelaku perusakan yang berskala besar.
"Serta diperlukan kolaborasi multipihak yang mengakui pengetahuan lokal serta posisi masyarakat adat dalam mengelola hutan secara bijaksana," pungkasnya.(rr)








Tulis Komentar Anda