Soal Amahami, Praktisi Hukum Juga Akademisi Bicara Tegas-Mantan Ketua Pansus “Cibir” Kinerja Kabag Hukum dan Muhtar Landa
Kerja Pansus dan Rekomendasi Tertulis DKP Provinsi NTB “Telah Dilecehkan”
Visioner Berita
Kota Bima-Kasus
pemagaran jalan dua arah di kawasan Amahami yang dijelaskan sebagai lahan
Negara sesuai hasil kerja Pansus DPRD Kota Bima yang dipimpin oleh ketua pansus
tahun 2019, H. Armansyah, SE hingga kini masih menjadi perdebatan hangat
berbagai pihak khususnya di Kota Bima. Ketua OKK Partai Gerindra yang juga
mantan Legislator Kota Bima, Sudirman DJ, SH menyatakan bahwa kasus yang terjadi kawasan
pantai Amahami kota Bima itu lebih sadis dari kasus Pantai Indah Kapuk (PIK) di
Tangerang Selatan (Tangsel)-Jabar yang berhasil membangkitkan kemarahan besar
Presiden RI, Jenderal (Purn) H. Prabowo Subianto.
Dalam kaitan itu, Prabowo menggerakan seluruh instrumen Negara hingga berhasill mengungkap adanya dugaan tindak pidana kejahatan yang belibatkan sederetan oknum tertentu. Antara loain diduga melibatkan pihak ATR/BPN Jabar soal penertiban sertifikat di atas kawasan laut. Hingga kini proises hukum terkait kasus ini masih berjalan secara serius.
Dalam kaitan itu pula, Menteri ATR/BPN RI, Nusron Wahid menindaklanjutinya dengan sangat serius. Yakni membatalkan seluruh sertifikat yang diterbitkan dalam kasus dimaksud. Salah satu Advokat senior asal LBH Amanah Kota Bima yang akrab disapa DJ ini (Sudirman SJ) menyatakan apresiasi terhadap Kinerja Prabodo dalam kaitan itu. Apresiasi yang sama juga disampaiknya kepada menteri ATR/BPN RI tersebut. Namun DJ juga meminta agar ketegasan yang sama juga diterapkan di kawasan Amahami Kota Bima agar tidak jadi preseden buruk bagi Pemerintah.
Terlepas dari DJ, salah seorang Praktisi Hukun yang juga Akademisi Kota Bima, Mulyadin, SH, MH menegaskan sangat menyangkan adanya upaya perdamaian yang terkuak melalui Akta Perdamaian antara pihak BC dengan Pemkot Bima atas gugatan pihak penggugat itu. Pasalnya, menurut sosok Advokat sekaligus Akademisi vokal yang akrab disapa Bang Mul ini bahwa terkait objek perkara itu diduga kuat sudah tercatat secara resmi ke dalam aset resmi milik Pemkot Bima. Hal itu diketahui dari pernyataan Walikota Bima melalui Kadis Kominfotik Kota Bima kepada Media Online www.visionerbima.com, Jum’at (21/3/2025).
“Setelah objek sengketa itu ditengarai sudah tercatat secara resmi ke dalam aset Pemkot Bima, maka perdamaian antara pihak penggugat dan tergugat itu sungguh sangat disayangkan. Dalam kasus ini, ada kekeliruan menafsirkan objek sengketa tersebut. Kata mereka bahwa BC itu sudah punya alas hak. Itu tidak ada jaminan bahwa sertifikat yang diterbitkan oleh BPN adalah mutlak sebagai tanda bukti hak. Yang dilihat di sini adalah alas hak peralihan dari objek tanah tersebut. Maksudnya apakah alas hak itu sah atau tidak dia memperoleh, dan peralihan objek sengketa itu dari mana. Hal itu tentu saja kuat korelasinya dengan rangkaian legal proses yang mereka lewati. Sekali lagi, ini pertanyaan besar yang harus mereka jawab,” ujar bang Mul, Jum’at (21/3/2025).
Terkait kawasan Amahami termasuk pada objek sengketa itu ungkap Bang Mul, pihak DKP Provinsi NTB sudah menuangkan penjelasanya secara detail melalui rekomendasi secara resmi yang telah diserahkan kepada pihak Pansus DPRD Kota Bima tahun 2019. Selebihnya data fisik dan dan data yuridis dari objek sengketa itu tegasnya, juga menjadi pertanyaan sangat serius. Masalahnya ujar Bang Mul, pihak DKP NTB Pemprov NTB sudah menegaskan di kawasan itu termasuk pada Objek yang disengketakan tersebut dikduga keras masih berstatus wilayah laut.
“Jangan-jangan titik koordinat objek yang disengketakan itu berada pada tempat yang lain, mungkin saja di daerah daratnya. Kalau Pemkot Bima sudah menyarankan kepada BC melalui Pengacaranya yakni Muhammad Haekal, SH, MH menggunggat hal itu secara perdata kepada PN Raba-Bima karena belum adanya uang kompensasi dimaksud maka sejatinya Pj. Walikota Bima saat itu (Drs H. Muhtar Landa, MH) sudah sangat siap membuktikan kepemilikanya. Maksudnya, pihak Pemkot Bima harus fight di ruang sidang. Bukan justeru berdamai sebelum bertarung di ruang sidang di PN Raba-Bima,” ujar Bang Mul.
Tetapi faktanya beber Bang Mul, Kuasa Hukum pemkot Bima (Kabag Hukum) Setda Kota Bima sebagai tergugat 1 dan DPRD Kota Bima sebagai tergugat II justeru ditengarai keras menyerah sebelum bertarung secara totalitas di ruang persidangan yang sah. Sebagai Lawyer tutur Bang Mul, ketika bersepakan untuk berdamai dengan penggugat tentu saja ada pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan.
“Namun dalam kaitan itu, saya tidak melihat adanya keuntungan yang dioperoleh pihak Pemkot Bima. Tetapi justeru menguntungkan pihak penggugat dimaksud. Dan kerugian yang sangat fatal dari hal itu adalah lahirnya Akta Perdamaian. Dan itu sifatnya Incracht (berkekuatan hukum tetap) dan bisa dilakukan eksekusi,” tandas Bang Mul.
Bang Mul kembali mempertanyakan secara serius tentang hasil kerja Pansus DPRD Kota yang dibentuk secara legal terkait masalah di kawasan Amahami tersebut. Kuat dugaan hasil kerja Pansus yang diperkuat oleh surat rekomendasi pihak DKP Provinsi NTB tahun 2019 itu sudah diserahkan oleh Walikota Bima saat itu, H. Muhammad Lutfi, SE kepada Sekda Kota Bima yakni Muhtar Landa di tindaklanjuti secara serius sesuai ketentuan hukum dan Perundang-Undangan (Perpu) yang berlaku.
“Itu juga menjadi pertanyaan besar kita semua yang harus dijawab secara kongkriet oleh pihak Pemkot Bima. Sekali lagi, rekomendasi Pansus itu sudah digunakan untuk apa,” tanyanya lagi.
Sementara itu kabag Hukum Setda Kota Bima, Dedi Irawan, SH, MH yang dimintai tanggapanya menjelaskan bahwa upaya perdamaian antara pihak penggugat dan tergugat dalamn kaitan itu berdasarkan hasil rapat dengan PJ. Walikota Bima saat itu, Drs. H. Muhtar landa, MH. Dan dalam kaitan itu katanya, tak akan jadi preseden buruk.
“Itu karena masyarakat lain yang tanahnya ditimbun untuk jalan umum di sana ada menandatangani bukti penyerahan tanahnya. Jadi hanya BC saja yang tidak tandatangan soal itu,” katanya kepada Media Online www.visionerbima.com, Jumat siang (21/3/2025).
Ditanya soal soal rekomendasi hasil kerja Pansus DPRD Kota Bima yang didalamnya tertuang rekoemndasi tertulis dari DKP Pemprov NTB tahun 2019 dimaksud, dedi mengaku bahwa memang pihak pemkot Bima tidak memiliki alas hak yang kuat. Sementara BC ungkapnya, meminta ganti rugi Rp3.720 M dan untuk itu tidak ada anggaran, sekarang Inpres No 1 tahun 2025 mengharuskan efisiensi anggaran.
“Soal itu bisa mas konfirmasi kembali kepada Pak. Muhtar Landa yang saat itu menjabat sebagai PJ Walikota Bima,” sahut Dedi.
Lantas apa gunanya rekomendasi Pansus Dewan dan surat rekomendasi tdertulis dari DKP pemprov NTB serta tidak melibatkan Jaksa Pengacara Negara yang ditunjuk secara resmi oleh Pemkot Bima melalui MoU tahun 2019 untuk menghadapi gugatan pihak BC terkait kawasan Amahami dimaksud?. Pertanyaan selanjutnya, apakah upaya perdamaian tersebut sudah terkoordinasi dengan pihak Forkopimda Kota Bima serta Kejaksaan Negeri Bima?.
Lantas keputusan sementara soal jhasil Rapar Kordinasi Khusus (Rakosus) yang dipimpin oleh Walikota Bima adalah soal pembatalan sertifikat pihak penggugat ada Kuasanya telah diserahkan kepada Kejari Bima?.
“Kan dijelaskan tadi beda permasalahannya. Kalau masalah pembatalan kompetensi absolutnya PTUN, Om,” sahutnya lagi.
Semementara pertanyaan tentang Instansi mana di Pemkot Bima yang terlibat membicarakan soal kompensasi dimaksud dengan pihak BC, hingga berita ini ditulis belu m dijawab oleh Dedi. Dan pertanyaan tersebut diarahkan secara berulang-ulang oleh Media ini kepada Dedi. Sayangnya, hingga saat ini Dedi belum menjelaskanya.
Pernyataan Dedi tersebut, praktis dicibir secara tegas dan lantang serta gamblang oleh mantan Ketua Pansus DPRD Kota Bima, H. Armansyah, SE. Dalam kaitan itu, Armansyah menyatakan bahwa upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak tergugat I (Pemkot Bima) dan tergugat II (DPRD) Kota Bima dengan pihak penggugat hingga lahir Akta Perdamaian resmi dari pihak PN Raba-Bima merupakan sikap yang sangat “konyol”.
“Jawaban pihak Pemkot Bima dan DPRD Kota Bima sebagai pihak tergugat sebagaimana dikemukakan oleh Kabag Hukum sekaligus yanhg diberi kuasa tersebut adalah sangat konyol. Pasalnya, rekoemndasi kerja Pansus Dewan yang di dalam tertuang rekomendasi tertulis dari DKP Provinsi NTB dan sejumlah regulasi di dalamnya harus dijalankan oleh Bima secara utuh dan tuntas hingga mendapat keputusan yang inkcracht dari PN Raba-Bima, bukan justeru menyerah sebelum bertarung di ruang sidang,” tegas Armansyah, Jum’at (21/3/2025).
Upaya damai yang ditempuh yang disepakati oleh Pemkot Bima dan DPRD Kota Bima sebagai tergugat dalam kaitan itu, ditegaskanya justeru menjadi preseden buruk bagi Negara pula (dalam hal ini Pemkot Bima). Dan dampak yang ditimbulkanterkait uoaya perdamaian tersebut yakni akan tumbuh dan berkembang kasus yang sama di seluruh kawasan Teluk Bima, tak terkecuali di kawasan Amahami.
“Ini bukan saja soal Kawasan Amahami. Tetapi menyangkut keselamatan Teluk Bima secara keseluruhan, Mas. Ingat, kerja Pansus Dewan dalam kaitan itu merupakan kerja legal dan tertulis. Dan di antara lain rujukan bagi lahirnya rekomendasi Pansus itu atas dasar adanya surat rekoemndasi secara tertulis dari pemprov NTB melalui DKP Provinsi NTB pula. Oleh sebab itu, maka wajib hukumnya bagi Pemkot Bima dan DPRD Kota Bima melaksanakan rekomendasi itu secara utuh. Tetapi sayangnya, pihak tergugat 1 dan tergugat II justeru diduga keras menginisiasi upaya perdamaian tersebut. Lha, indikasi itu tercermin nyata melalui adanya Akta Perdamaian dimaksud,” tandasnya.
Armansyah kembali menegaskan, sebagai mantan Ketua Pansus DPRD Kota Bima siap maju sebagai saksi kapanpun Negara membutuhkanya. Hal itu akan dilaksanakanya secara utuh pula ketika pihak pemkot Bima dan DPRD Kota Bima melaksanakan secara utuh pula rekoemndasi Pansus Dewan dimaksud.
“Objek yang disengketakan itu hingga kini masih berstatus sebnagai lahan milik Pemprov NTB, bukan milik Pemkot Bima. Maka soal kewenangan soal peralihat kawasan tersebut, pun hingga kini masih menjadi kewenangan pihak pemprov NTB. hanya saja, hal tersebut diakui Diskominfotik Kota Bima sudah tercatat secara resmi ke dalam daftar asetnya Pemkot Bima. Ini makin menarik. Jika demikian adanya, kenapa mau damai dengan pihak penggugat,” tanyanya dengan nada sangat serius.
Armansyah mengungkap, terkait upaya perdamaian tersebut opemkot Bima diduga telah dua kali melakukan pelanggaran. Yakni penimbunan di sepanjang jalan dua arah yang masih berstatus sebagai kewenangan Pemprov NTB menggunakan APBD II Kota Bima dimasa kepemimpinan Walikota Bima sebelum H. Muhammad Lutfi, SE (Lutfi) dan ditengarai menginisiasi upaya perdamaian dengan pihak DC (penggugat).
“Maka pertanyaan serius terkait hal itu adalah adakah izin resmi terkait buka jalan dua arah itu dari DKP Pemprov NTB atau sebaliknya. Hanya Gubernur NTB yang bisa menjawabnya. Sekali lagi, silahkan dapatkan data lengkapnya kepada pihak DKP pemrov NTB,” imbuhnya.
Atas nama Pansus DPRD Kota Bima yang sudah bekerja secara investigatif terkait kawasan Amahami hingga lahir sederetan pointer penting di dalamnya yang wajib dilaksanakans ecara tuntas oleh pihak Pemkot Bima dan DPRD Kota, Armansyah menyatakan kekecewaanya yang sangat mendalam atas upaya perdamaian dimaksud. Pasalnya papar Armansyah, kerja Pansus Dewan setempat dan rekoemndasi tertulis dari DKP Provinsi NTB tersebut telah dilecehkan melalui upaya perdamaian itu pula.
“Melalui kesempatan ini, saya atas nama mantan Ketua Pansus DPRD Kota Bima meminta dengan tegas kepada Gubernur NTB saat ini, Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal segera menyikapi masalah itu secara serius guna menyelamatkan seluruh kawasan yang ada di Teluk Bima, tak terkecuali di Kawasan Amahami. Jika Iqbal tidak mampu menuntaskan tanggungjawabnya dalam kaitan itu, maka pilihan selanjutnya adalah mendesak Presiden RI dan pihak Kementerian ATR/BPN RI segera turun tangan. Kasus ini sangat miripm dengan kasus PIK di Tangsel-Jabar. Jika Prabowo mampu bersikpa tegas dan kongkriet terkait kasis PIK itu, maka hal yang sama wajib hukumnya diterapkan di Kawasan Teluk Bima,” pungkas Armansyah. (JOEL/RUDY/AL/DK)
Tulis Komentar Anda